14

5.4K 1.9K 334
                                    


Avram menahan lenganku.

"Kutunggu kamu di ruang kerja, sekarang!"

"Aku mau melihat mami dulu, seharian kami belum bertemu." balasku cepat.

Dia melepaskan cengkeraman lalu meninggalkanku. Akhirnya bisa tersenyum lega. Semoga tidak ada yang melihat tadi. Aku benar-benar merasa takut terutama pada Bu Zea. Jangan sampai apa yang dilakukannya terlihat oleh pelayan. Ada beberapa yang sepertinya merupakan mata-mata kekasih Avram. Lagi pula masih teringat tatapan tak sukanya tadi pagi saat mami mengubah panggilannya. Apakah dia tahu tentang pernikahan kami? Entahlah, kalaupun tahu itu adalah urusan Avram. Setelah mandi dan berganti pakaian aku menuju kamar mami. Dia tersenyum melihat kedatanganku.

"Bagaimana orang tuamu?"

"Sudah pulang mi."

"Naik apa tadi?"

"Taksi."

"Kenapa tidak bawa mobil dari sini? Kan, ada kendaraan yang tidak digunakan?"

"Tidak usah, nggak enak sama yang lihat nanti mi."

"Kamu berhak menggunakan mobil. Jangan sungkan lagi, lain kali tidak usah naik taksi. Bahaya di luar sana. Kamu bisa pakai supir saya. Kamu itu istri Avram, berhak menikmati apa yang dia miliki."

Aku tidak punya jawaban apa-apa, selain merasa bahwa semua tidak layak untukku.

"Ya sudah, istirahat dulu. Kamu mau melakukan sesuatu?"

"Pak Avram memanggil saya."

"Seharusnya dia yang menemuimu kalau perlu. Kamu bukan asisten atau karyawannya yang harus datang begitu dipanggil. Bicarakan tentang kendaraan bersamanya, kalau tidak ditanggapi beri tahu saya. Takutnya kalau nanti langsung saya belikan dia malah marah dan kami ribut lagi."

"Baik mi."

"Temui dia, Avram adalah orang yang paling tidak sabar."

Aku mengangguk lalu pamit. Bergegas menuju ruang kerja laki-laki itu. Namun di tengah jalan pesannya masuk.

Ke kamar saya saja.

Begitu banyak pertanyaan langsung memasuki benakku. Apa dia ingin agar aku menemani malam ini? Mengingat hal tersebut aku bergidik karena belum siap menjalankan tugas yang satu itu. Tadi pagi senang sekali karena dia masih bersama Bu Zea. Yang artinya keberadaanku hanya untuk 'mainan' saja. Kuketuk pintu kamarnya. Dia membuka dengan masih mengenakan handuk sebatas pinggang.

"Masuk."

Kalau tidak ingat bahwa perintah atasan sekaligus suami adalah sebuah keharusan, rasanya tidak akan mau masuk kemari. Dia segera memasuki walk in closet lalu ke luar dengan pakaian santai. Rambut tebalnya masih basah.

"Kenapa menghindar saat pulang tadi?"

"Aku sudah bilang, buru-buru karena belum ketemu mami sejak pagi."

"Itu bukan alasan untuk menghindariku. Apa itu yang kamu tahu tentang tugas seorang istri? Harus menjauh saat suami pulang dari kantor?"

"Maaf, kamu nggak bicara duluan."

"Kenapa tadi naik ojek waktu pagi?"

"Nunggu taksi lama. Sementara aku harus cepat sampai rumah sakit."

"Pulangnya?"

"Supaya nggak kena macet."

Avram mengembuskan nafas kesal

"Begitu banyak kendaraan di sini yang bisa digunakan. Kamu duduk begitu dekat dengan pengendaranya? Bagaimana kalau mereka mengerem tiba-tiba?"

Jujur mataku menatap tak percaya, dia bisa berpikir sampai begitu? Namanya juga naik ojek, nggak mungkinlah jauhan sama pengendaranya. Yang ada aku malah jatuh. Apa dia kira aku tidak punya tangan untuk menahan punggung abang tukang ojek?

MASIHKAH KAU PERCAYA CINTA ITU ADA?/Versi Lengkap Tersedia Di PLAY BOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang