6O-tusukan

430 26 4
                                    

Alea berdiri dengan gemetar, kakinya seolah tak mampu menopang berat tubuhnya yang terlihat sangat ringkih. Ia memeluk dirinya sendiri di pojok ruangan. Napasnya begitu kencang, bahkan terdengar sangat cepat. Tangannya ikut berkeringat seperti pelipisnya. Oh Tuhan, Alea hampir panas dingin.

Matanya tak kunjung pergi dari satu objek indah miliknya yang kini sudah tak menjadi indah. Felix ... pria bagai Raja Mesir kini kian menggelap. Auranya ditutupi oleh beberapa abu hitam yang menyelimuti atmosfer sekitar Felix.

Bhama yang tadinya menyeruak, kini tergantikan oleh amarah bak iblis dari neraka. Felix yang mencekik Azazel—ayahanda dari Alea maupun felix, peristiwa yang ditangkap oleh mata Alea ini hampir tak dapat tercerna dengan baik di otaknya.

"Alea, pakai handukmu!!"

Alea terkejut, ia hampir terperanjat kaget dan membulatkan matanya. Namun, tangannya lihai untuk menangkap handuk yang dilemparkan Felix, sepersekian detik bunyi pelatuk pistol itu terdengar. Kini, Alea hanya tinggal bersama degupan jantungnya yang kian merajalela, terlalu cepat untuk dirasakan. Ia semakin erat memeluk tubuhnya.

"Benjamin ...," erang Felix, suaranya begitu berat. Kini amarahnya memuncak. "Beraninya kau ...!"

Mendengar teriakan Felix dengan suara yang menakutkan, membuat Alea perlahan-lahan menekuk kakinya, dia tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya. Sekarang tangannya memeluk kakinya yang tertekuk, menenggelamkan kepalanya di antara kedua kakinya. Tangisnya mulai pecah. Perasaannya campur aduk, Alea tak mengerti. Tak mengerti mengapa semua ini terjadi begitu cepat dan tanpa aba-aba. Tidak adakah salam perpisahan untuknya dan Azazel?

Azazel ..., Alea tahu Azazel pun mengkhianatinya. Alea tahu Azazel tidak sebaik yang dia pikirkan. Namun Azazel, pria itu banyak menorehkan kehangatan pada Alea sebelum semua ini terjadi. Rumit sekali, saat ini ia kembali takut pada Felix.

Pria yang terkadang ia anggap sebagai jalan pulang menuju rumah, tapi terkadang Felix juga berupa jalan menuju kesengsaraan. Ia bahkan tak memiliki rasa ragu membunuh ayahnya sendiri. Ia ingin Felix, Alea tak munafik, Alea memang benar-benar menginginkan Felix. Namun, tidak dengan cara yang seperti ini.

Jika dengan seperti ini, Alea malah ingin berjalan mundur, berlari perlahan menjauh dari Felix yang menakutkan. Jika begini, bukankah ada kemungkinan bahwa Felix akan membunuhnya juga tanpa ragu? Pria itu benar-benar tanpa perasaan.

"BERANINYA KAU MELIHAT TUBUH TELANJANG ALEA!!"

Kali ini Alea benar-benar terkejut. Suara Felix ada di ambang yang sangat tinggi dan Alea tak sanggup menggapainya. Ia melirik ke samping, ternyata benar. Ada Benjamin di sana. Berdiri menghadap ke arah Felix.

Sorot mata Benjamin memang tersirat ketakutan. Buana Alea mulai berwarna saat sudut matanya tak ingin lengkang dari sosok Benjamin. "Benjie ... pergilah," lirih Alea. Walau percuma karena suaranya sangat kecil, ia tetap merapalkan titahnya pada Benjamin untuk pergi dari sana. Felix buas saat ini, sangat tidak ramah.

"Felix ..., kurasa kau telah melewati batas!" lontar Benjamin, suaranya sedikit gemetar. Namun, Alea tahu Benjamin tengah memberanikan diri.

Felix terkekeh kecil. "Oh ya? Bukankah aku tidak pernah punya batas?" jawab Felix, seringainya sangat jelas. Keturunan dari raja keempat neraka—Azazel. Kini, Felix akan mewarisi takhta kerajaannya di daerah nether yang panas itu, bersaudara dengan tiga raja lainnya—Astaroth, Beelzebub, dan Satan.

Ya, itulah gambaran Felix saat ini. Ia akan bertindak sesukanya bagai raja dari negara absolut. Tanpa memikirkan hal lain—hanya mementingkan tujuannya sendiri; Alea.

"Kau tahu apa balasannya jika kau melihat seinchi pun dari tubuh istriku?" tanya Felix, udara makin mencekam. "Dan kau? Kau bahkan melihat hampir seluruhnya."

Imaginary Devil (END)Where stories live. Discover now