61-pengadilan

381 21 6
                                    

Alea hanya bisa menangis tersedu, melimpahkan segala kepedihannya dengan air mata yang menggelinang. Situasi macam apa ini? Kini, tiga pria yang hadir dalam hidupnya seolah tengah membuat jarak yang amat jauh darinya. Azazel ..., Felix ..., Benjamin .... Ini terlalu berat untuknya.

Ditambah dengan budaya Indonesia yang suka memperhatikan orang lain jika orang tersebut menarik. Jelas Alea orang yang menarik, dari segi pakaian, warna kulit, rambut dan hampir semuanya berbeda dengan ciri khas orang Indonesia. Ia menjadi pusat perhatian dari banyaknya orang-orang yang berkumpul.

Lagi, reporter dari beberapa stasiun acara yang sudah siap menyuguhkan mikrofon untuk mewawancarai Alea. Tidak, yang Alea mau saat ini hanyalah memeluk Azazel dan Felix, memegang tangan Benjamin, mendekap ketiganya dan menolak mereka untuk pergi.

"Sorry ..., no." Alea berjalan dengan menunduk, masuk ke mobil polisi dengan perasaan campur aduk. Ia sangatlah terpukul, ditambah dirinya harus menjadi saksi. Untuk apa lagi? Pelakunya bahkan sudah terkapar lengah dengan sungai darahnya yang tak henti mengalir tadi.

Alea ingin pulang, sungguh. Alea bingung. Sekarang dia seperti tak punya apa-apa, tak punya siapa-siapa.

Pikirannya berkacau hingga mobilnya terhenti, Alea keluar dengan lunglai matanya menyorot tanpa semangat. Ia kira ia akan diwawancarai dan harus menceritakan ulang kembali kronologi penembakan dan tusukan tadi, tetapi ternyata tidak.

Alea malah dibawa ke rumah sakit yang menangani kasus mereka. Seperti menghampiri harapan, Alea berlari kencang. Tak peduli jika sebenarnya energinya hampir habis terkuras oleh tangisannya.

"Felix ...!" teriak Alea saat ia melihat brankar yang ditumpangi orang yang seperi Felix, Namun Alea salah. Tubuhnya memang mirip dengan Felix tetapi wajahnya bukan. Ia berlari mengedarkan matanya untuk mencari Felix, Azazel. ataupun Benjamin.

"Ah, Daddy!!" Alea berlari lagi, kali ini benar. Tangisnya pecah seketika, air matanya tak terkontrol karena turun dengan drastis. Suaranya langsung sesenggukan. "Dokter, please ... selamatkan dia, tolong dia, dok-hiks!" Alea memegangi lengan salah satu perawat yang membawa brankar, tetapi perawat itu hanya membalas dengan tatapan prihatin. Alea berhenti memgikutinya dan melihat bahwa brankar itu dibawa ke kamar mayat.

"DADDY!!" Alea histeris menyadari bahwa Azazel masuk ke ruangan itu. Tuhan, Alea bukanlah pendosa yang harus dihukum seperti ini. Alea terlalu halus untuk kejamnya dunia saat ini. Alea tak sanggup, ia ingin mencegah tiga pria memorable di hidupnya untuk pergi jauh ke alam sana.

Hingga hampir satu jam berlalu, tangis Alea mulai lebih tenang. Ia terduduk di bangku pinggiran lorong bersama para polisi yang mengawasinya. Satu tangan hangat menepuk bahunya, Alea tak berniat untuk menoleh atau meresponsnya. Yang ia mau saat ini hanyalah ingin tiga pria itu kembali di dekapannya.

"Alea ...."

Alea membulatkan matanya, detak jantungnya kini berpacu lebih cepat. "M-mommy ...!" Alea langsung mengalungkan tangannya untuk memeluk Annalyn yang tiba-tiba datang. Alea tak peduli apa pun saat ini, yang ia mau hanyalah kehangatan. Yang Alea butuh adalah rumah untuk membagi bebannya bersama.

***

Sementara di ruang yang putih luas, tanpa ada sumber cahaya di sana. tetapi begitu terang. Ruang yang tak bisa ditaksir seberapa luasnya, seperti tak memiliki ujung. Felix berdiri di sana. Tubuhnya masih sama tetapi warna kulitnya menggealap. Ia melihat sekitar yang tadinya hanya polos berwarna putih, perlahan muncul titik hitam yang menghampirinya.

Dua titik hitam, yang semakin jelas, semakin dekat.

"Felix?"

Felix menyunggingkan alisnya, ternyata Benjamin yang datang, ternyata Benjamin juga ada di sini. Apa maksudnya ini? Felix semakin merasa bingung.

Imaginary Devil (END)Where stories live. Discover now