22-berengsek

1.4K 92 2
                                    

/ Allice Alea Kimberlly /

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

/ Allice Alea Kimberlly /

*

Alea mengepalkan tangannya, lalu menekuk tangannya dan bersorak senang. Dia hampir saja melompat-lompat karena saking senangnya bisa lolos semudah ini dari rumah bagai neraka ini.

Tidak, bukan karena rumah Felix terbakar hingga Alea menyebutnya neraka, rumah ini bagai neraka karena Alea yakin Felix pasti tidak sekali dua kali membunuh seseorang di rumah ini. Rumah ini menjadi saksi bisu bagi orang-orang yang nyawanya dicabut Felix di rumah ini.

Sungguh, Alea jelas tak mau bernasib sama seperti itu. Rumah ini tak boleh menjadi saksi bisu kematiannya, tapi rumah ini harus bisa jadi saksi bisu atas keberhasilannya kabur dari sini.

Dia mulai menarik kenop dengan hati-hati, lalu mencoba melangkah kecil. Senyumnya kecilnya kembali terlihat.

"Nyo—"

"Ssssstt! Diamlah!" bisik Alea. Dia menggeram kecil lalu berbalik badan. Alea menggertakkan giginya.

"Maaf, saya mau tanya. Anda mau kemana?" tanya salah satu maid yang kebetulan lewat.

Alea membuang napas kasar. Dia menatap maid itu dengan sinis. "Mau tahu saja!"

"Lagi pula aku keluar sendiri! Ak—aku membuka pintu ini dengan tanganku sendiri!" elak Alea mencari alasan.

Maid tersebut tampak kebingungan, dia memiringkan kepalanya. "Kau punya kuncinya?" Tentu, maid pasti berpikir jika Alea memegang kuncinya karena Alea bilang membukanya sendiri. Mereka tidak akan berpikir bahwa otak Alea melebihi itu.

Alea tidak memegang kunci, tapi memegang sidik jari Felix.

"Ya! Felix memberi kuncinya padaku! Itu artinya sudah hakku untuk keluar dari sini. Artinya aku sudah dapat izin dari Felix!!!" bohong Alea dengan ngegas.

Maid itu terasa tercengang. Tidak biasanya Felix memberikan ruang untuk keluar dengan semudah itu. Memberikan kunci rumahnya pada gadis yang bahkan baru beberapa hari di rumah ini.

Namun, maid itu menunduk hormat. "Nikmati waktumu, nyonya." Kemudian berbalik dan tak menghiraukan Alea lagi.

Alea bersorak gembira. Tanpa membuang waktu Alea melangkah cepat. Ingin rasanya dia menengok rumahnya kembali, pasti sudah banyak sarang laba-laba.

Pikirannya berjalan seakan waktu menggulirnya. Alea tersadar bahwa dia telah bolos beberapa hari. Gawat, tapi syukurlah Alea belum memegang ponsel kali ini.

Pihak sekolah pasti mengabari orangtuanya yang sibuk. Dan—ah, shit! Pasti setelah ini Alea akan dapat omelan besar-besaran dari orangtuanya.

Alasan apa yang Alea gunakan? Bahkan dia sampai tidak ada di rumah. Alea tidak mungkin jujur soal Felix, tidak, pasti orangtuanya akan lebih mengawasinya nanti karena Alea bertemu orang baru dan itu Felix—pria tua yang tetap tampan dan pengangguran banyak uang, begitu kan kata Felix?

Alea menggigit bibirnya, bagaimanapun dia harus mempersiapkan mentalnya jika orangtuanya berkata tak pantas lagi padanya.

Jangan salah, Alea sudah sering diperlakukan seperti itu dengan orangtuanya.

Langkahnya membawa Alea sampai ke jalan raya. Dia duduk di halte dan menggoyangkan kakinya santai. Matanya bergulir menengok ke jalanan yang tampak sepi.

Angin berembus kencang, menerpa wajah Alea yang saat itu sedang murung. Harapannya hanya satu, semoga setelah pihak sekolah menghubungi orangtuanya, orangtuanya tidak langsung pulang ke Filipina, tidak menengok rumahnya.

Sangat bahaya! Orangtuanya akan tahu Alea tidak di rumah!

(Ingat, latar tempat di Manila, Filipina.)

Alea menengadah kepalanya, melihat langit-langit halte yang sudah kotor. Tidak terawat kelihatannya. Membuat Alea geli saja. "Aku buat alasan kalau aku temenin Kenneth di rumah sakit saja ya? Tapi, ponselnya? Aku bilang apa soal ponselku yang tidak aktif?" Alea mengacak rambutnya.

Bibirnya dia majukan seperti layaknya seorang anak kecil yang merajuk. Dia kemudian menengok ke jalanan lagi, matanya baru sadar jika seberang jalanan sana ada bar yang sebentar lagi akan dibuka.

Ah, Alea baru ingat kalau sekarang sudah sore. Senja segera menyambutnya.

Namun, tiba-tiba mata Alea memicing. "Tidak mungkin," gumamnya syok.

*

Felix menancap rem dengan keras. Hampir saja dia melewati gedung tingkat dengan lampu berkedip itu. Untung juga kepalanya tak terkena dashboard atau pun stir.

Felix menoleh, gadis yang dibawanya kali ini sangat pendiam. Ah, Felix dengan mudah menaklukannya.

Dia memulai aksinya kembali. Menarik tengkuk gadis di sampingnya lalu menyatukan kedua bibir mereka, saling melumat keras dan menciptakan keringat di sepanjang leher mereka karena merasakan hal panas.

Cumbuan mereka semakin melupakan dunia, bibir Felix menelusuri telinga sampai menurun ke tengkuk dan sedikit lama bermain di leher gadis itu. Gadisnya menengadahkan kepala, matanya terpejam merasakan sensasi berbeda saat Felix menjilat kulitnya.

Lidahnya memijit setiap centi kulit Alea, gadisnya bergidik geli. Namun, tak bisa melawan sentuhan Felix, tak bisa membohongi dirinya bahwa dia sendiri juga menikmatinya.

Tangannya terulur untuk menekan kepala Felix, berusaha untuk menambah sentuhannya lagi dan lagi. Gadisnya terus meminta lebih, begitupun Felix dengan kesadarannya yang setengah.

Tanpa lama-lama lagi, Felix membuka pintunya, diikuti gadisnya juga yang tergesa-gesa keluar dari mobil. Mereka kembali menautkan bibir sambil berjalan masuk dalam sebuah bar.

Mereka melangkah tanpa melepaskan kedua pagutannya. Napas keduanya terengah, tetapi angin yang kencang terus menyejukkan hawa mereka.

Sampa tiba di pintu, kaki Felix mendorong pintu itu dengan kencang. Membukanya dan masuk tanpa izin sekalipun. Seketika dentingan musik terdengar keras.

"Ahhh ...."

Ouh, desahan gadisnya mulai terdengar, menyemangati Felix untuk kembali mengambil kesempurnaan gadis ini. Felix membawanya ke pojok bar, menggendong gadis kecilnya di pangkuannya. Membuka setiap helai bahan yang menyangkut di tubuh manisnya.

Barnya masih sepi, pasti karena sore. Felix pengunjung pertama, ditambah orang dalam bar ini mengenal Felix, sudah pasti menghormati Felix.

Kenikmatan yang menyelimuti dua insan itu tak menyadarkan bahwa di seberang sana ada seorang gadis kecil yang juga sudah tak sempurna. Dengan balutan kemeja Felix yang rambutnya tergerai cantik.

Felix sama sekali tidak menyadarinya.

Gadis yang bukan sudah gadis itu menyeberang jalan, berusaha memastikan pengalihannya bahwa pria itu bukan Felix. Tidak mungkin, tidak mungkin Felix! Doanya terus bergerilya untuk membohongi dirinya bahwa itu bukan Felix.

Namun, mata Alea tetaplah mata Alea, yang tidak memiliki minus setengah ukuran pun. Penglihatannya sehat, dan semua itu benar. Itu Felix.

Alea menelan ludahnya dengan sangat sulit, dia tidak akan masuk ke bar sana, dia hanya bisa melihat Felix dari balik kaca yang setengah blur di bar itu. "Berengsek sekali." Alea menutup mulutnya, sebelum membiarkan air matanya lolos.

Gila, Alea sudah ikut gila. Kenapa menangis? Hey, Felix itu pangeran neraka, sudah pasti kelakuannya bejat. Alea harus sadari itu, bukan salah Felix, dia memang pangeran neraka.

Namun, mengapa hatinya merasakan detakan yang cepat? Tidak mungkin juga Alea menyukai Felix, selama ini dia berbohong soal perasaannya.

*

Imaginary Devil (END)Where stories live. Discover now