♧Chapter9♧

36 45 7
                                    

"Ini Pak copetnya! Berhasil saya tangkap nih!"

Terlihat orang-orang berbondong-bondong berlari ke arah mereka berdua. Sang laki-laki yang berada di depan Winter panik dan masih berusaha melepaskan cengkraman tangan gadis itu. "G... Gue bukan copet njir. Lu kalau mau nuduh kira-kira dong. Penampilan gue kayak copet gak?"

Amarah laki-laki itu meluap. Terlebih lagi ketika pandangannya sudah melihat orang-orang mulai dekat dari posisinya. Dari raut wajah orang-orang, terlihat mereka ingin memukul dan membunuh laki-laki berambut merah itu.

"Kalau copet mah copet ajah. Gak usah pakai alasan segala. Di jaman sekarang, orang pembantu ajah pakai gaun mewah, kenapa berpenampilan seperti ini lo anggap aneh?"

Terlihat bapak-bapak yang tadi bersuara sangat keras dari yang lain sudah berada tepat di depan mereka. Winter menarik laki-laki berambut merah itu lebih dekat dengan bapak-bapak bertubuh kekar itu lalu menunjuknya dengan jari telunjuk. "Nih Pak copetnya. Dan ini tas yang dicopetnya pasti," ujarnya sambil mengambil tas yang digenggam oleh laki-laki itu dan memberikannya ke bapak-bapak bertubuh kekar itu.

Laki-laki berambut merah itu terdiam. Sudah muak dengan tingkah gadis di depannya. Bisa dibilang, dia sudah pasrah. Apabila nanti dia diiring ke kantor polisi, toh biar mereka yang urus.

"Mana copetnya?" yang lain baru menyusul. Terhitung sekitar 5 orang laki-laki dan satu ibu-ibu yang kini menghampiri mereka. Ibu-ibu yang terlihat panik itu langsung menggeser tubuh bapak-bapak tadi dan melihat laki-laki berambut merah itu dari atas sampai bawah.

"Loh, katanya udah ketangkap. Copetnya mana?" semua orang bingung mendengar pertanyaan Ibu-ibu itu. Terlebih lagi Winter yang kini sudah mengendorkan cengkraman tangannya dari pergelangan tangan laki-laki berambut merah itu.

Tak membuang kesempatan, laki-laki berambut merah menghempas tangan Winter dan mengusap pergelangan tangannya. Agaknya laki-laki itu merasakan sakit akibat kuatnya cengkraman tangan dari gadis bertubuh berisi itu.

"Ini copetnya udah di depan Ibu." Ibu-ibu itu mendesah kesal dan kecewa. Kepalanya bergantian menengok ke arah Bapak-bapak yang berada di belakangnya.

"Copetnya bukan dia."

"Loh?"

Laki-laki berambut merah mendengus kesal lalu berkacak pinggang sambil menatap tajam Winter. Bukannya takut, gadis itu malah menampilkan raut wajah bingung.

"Yaudah deh gak apa-apa. Yang hilang juga cuman uang kas lima belas ribuan dan dompetnya doang." setelah mengatakan kalimat itu, Ibu-ibu tadi berbalik dan meninggalkan sekumpulan orang-orang tersebut.

Tak lama kemudian, ke enam Bapak-bapak tadi juga ikut meninggalkan mereka berdua. Winter masih terdiam, otaknya sibuk mencerna suatu hal yang barusan terjadi.

"Ck. Udah puas?" kepala gadis itu mendongak sehingga bertatapan dengan laki-laki si rambut merah itu.

Bukan lagi tatapan tajam yang dia pancarkan melainkan tatapan biasa namun terkesan dingin dan datar. Hal itu membuat Winter agak merasa bersalah dan langsung menampilkan raut wajah penuh penyesalannya. "M... Maaf," ucapnya pelan.

Laki-laki berambut merah itu mengela nafas pelan lalu berjalan meninggalkan gadis itu. Tanpa adanya respon atau kalimat balasan atas permintaan maaf dari Winter. Hal itu membuat gadis itu yang tadinya merasa bersalah kini terlihat emosi dan ingin memaki orang yang berjalan sekitar lima langkah di depan sana.

"Dih, apaan tuh bocah? Songong banget jadi orang. Udah minta maaf juga malah di kacangin. Gue do'ain di depan sana lo nabrak tiang listrik biar mampus," makinya. Pandangannya masih mengarah ke laki-laki tadi yang sudah mulai menghilang di telan belokan.

Cinta Penawar KutukanWhere stories live. Discover now