♧Chapter26♧

17 12 0
                                    

Ceklek...!

Bunyi derit pintu yang terbuka membuat atensi pemuda yang tengah sibuk menulis sesuatu di bukunya seketika menoleh dengan gerakan cepat. Bahkan kursi yang didudukinya sekarang sempat bergerak. Terdengar decakan kesal yang keluar dari bibir pemuda itu, lalu setelahnya memilih acuh dan kembali pada kegiatan sebelumnya.

Laki-laki yang sedang berdiri di ambang pintu kamar laki-laki tadi tampak tidak kalah kesalnya dengan sang pemilik kamar. Merasa diacuhkan, laki-laki itu kemudian berjalan mendekati laki-laki yang sedang duduk di meja belajarnya itu dengan langkah santai.

Sang pemilik kamar peka, namun dia memilih acuh. Ingin sekali rasanya mengusir laki-laki itu dari kamarnya. Sampai sebuah deheman tanda intrupsi membuat dirinya seketika ingin mengamuk rasanya.

"Kalau ada tamu yang datang tuh dijamu layaknya raja. Gak diabaikan kayak yang lo lakuin sekarang. Lo emang gak punya tata krama atau emang gak pernah diajarin sopan santun sama orang tua lo?"

Mendengar kalimat sarkas itu, emosi laki-laki yang masih setia duduk di kursi meja belajarnya tersebut seketika naik pitam. Kepalan tangannya mengeras berusaha untuk tidak berbalik dan menonjok wajah orang di belakangnya. Berani sekali orang itu datang ke sarangnya dan memancing emosinya begitu saja. Apakah orang itu tidak takut babak belur setelah keluar dari sana? Cih! Laki-laki itu sadar, seberapa lama pun dirinya berusaha untuk bersikap acuh kepada pria yang datang tadi, pikirannya berbanding terbalik dengan keinginannya. Otaknya tak bisa berhenti untuk selalu mengingat kalimat sarkas laki-laki tadi. Sungguh memuakkan.

"Diam berarti iya. Menghindar sambil menunggu bantuan. Bukannya maju dan berterus terang. Bukankah itu yang namanya pengecut?"

Bughh!!!

Satu pukulan berhasil mendarat dengan sempurna di pipi sebelah kanan sang lawan. Si pemilik kamar sudah tidak sanggup menahan emosinya. Matanya melotot marah menatap tajam sang lawan di depan. Ok, kita anggap mereka sebagai rival. Karena begitulah kenyataannya. Lantas, apakah laki-laki berambut merah tadi balas melawan? Sepertinya tidak. Bukannya meringis menahan sakit akibat pukulan keras tadi, tawa remeh malah terdengar begitu menyebalkan di mulutnya.

"Lo ke sini ternyata cuman mau mancing emosi gue ya. Sebagai feedback, gue kasih kenang-kenangan di wajah lo. Efeknya mungkin tidak buruk, tapi gue pastiin lo bakal nyesel kalau ngusik hidup gua."

Laki-laki si pemilik kamar kembali duduk membelakangi si laki-laki berambut merah. Kepalanya kembali fokus membaca kata per kata yang tertulis acak di bukunya. Rupanya si rambut merah tidak menyerah atau merasa takut sedikitpun. Jaraknya yang sangat dekat dengan posisi laki-laki itu membuat dirinya dengan mudah mendorong kursi yang diduduki oleh sang pemilik kamar.

Si pintar akan kalah dengan si cerdik dan si gercep. Handphone yang sengaja Asahi letakkan tepat di depannya dengan posisi vertikal bersandar di kotak pensil miliknya rupanya menangkap galagat si pemilik rambut merah di belakangnya. Alhasil, si pemilik kamar dengan cepat berdiri dari bangkunya dan berbalik sambil menahan tangan kanan milik laki-laki itu. Posisinya diubah menjadi memutar membuat laki-laki si rambut merah memekik kesakitan.

"Lepasin tangan gue bangs*t! Lo-"

"Yoshi! Asahi! Apa yang kalian lakukan?!"

Kedua laki-laki itu terdiam. Terkejut dengan suara teriakan seorang pria tua yang baru saja datang. Keduanya semakin merasa takut ketika melihat keberadaan beberapa orang lain di belakang pria tua tadi.

"Mampus! Lo sih, kenapa pake masuk ke kamar gua segala!"

"Lo duluan yang mulai! Gue dateng gak langsung nonjok tuh."

Cinta Penawar KutukanWhere stories live. Discover now