♧Chapter21♧

20 15 0
                                    

"Cucuku...."

Anak laki-laki yang sedang duduk termenung itu berbalik mendapati sang kakek yang berjalan ke arahnya. Senyuman lebar dan aura hangat dari kakek itu membuat anak laki-laki tersebut ikut mengembangkan senyumnya.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyanya setelah berhasil duduk di samping anak laki-laki itu. Tangannya bergerak untuk mengusap surai hitam milik anak laki-laki itu dengan amat penuh rasa kasih sayang.

"Asa takut. Mereka menyebut Asa seperti monster," gumamnya. Kepalanya kembali menunduk sambil terus menatap air danau yang berada di depannya. Kedua kakinya di tekuk dan kemudian dia peluk. Dagu kecilnya kembali dia letakkan di atas lututnya.

"Cucuku sayang. Asa itu anak yang spesial, bukan monster seperti yang mereka bilang. Asa cuman punya keistimewaan. Asa itu keren, harusnya mereka iri dengan Asa. Asa punya mata yang cantik."

Anak laki-laki itu menggeleng pelan. Tidak menyetujui perkataan Kakek di sebelahnya. Hal itu membuat senyum lebar sang Kakek perlahan berkurang. Tangannya yang sedari tadi mengusap rambut cucunya kini berubah menjadi rangkulan untuk anak laki-laki bernama Asa itu.

"Asa harus kuat. Kakek minta maaf ya sama Asa. Kakek gak bisa larang Asa untuk gak benci Kakek. Karena keegoisan Kakek, Asa jadi kena imbasnya. Tapi...."

"Tapi?"

Raut wajah penasaran milik Asa membuat Kakek terkekeh pelan. Kini kepala Asa sudah kembali menatap kearahnya. Sungguh menggemaskan anak berumur 12 tahun itu. Rasa bersalah di lubuk hatinya makin bertambah. Cucunya yang seharusnya bisa bebas bermain dan bercanda gurau dengan teman-teman sebayanya kini tidak dapat mewujudkan hal itu. Kesendirian, kesunyian, dan bibir yang hanya akan mengeluarkan suara seperlunya saja. Hal itulah yang mendeskripsikan anak malang itu. Anak itu terlalu takut untuk bergabung dan bermain dengan teman-temannya. Tidak ingin mendengar cacian dan juga hinaan dari mulut mereka dikarenakan bola matanya yang berbeda dengan yang lainnya. Panggilan monster dari mulut mereka juga membuat Asa sangat benci mempunyai teman.

"Mungkin sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memberitahumu."

"Tidak apa-apa. Kakek kan tahu kalau aku sudah menjadi dewasa sebelum waktunya."

Benar, memang benar sekali perkataan milik anak laki-laki itu. Didewasakan oleh keadaan, bukan karena paksaan atau tekanan, melainkan kebiasaan. Asa mengucapkan kalimat itu dengan intonasi datar dan raut wajah yang biasa saja. Hal itu membuat sang Kakek ikut menunduk sesaat.

"Asahi anak yang baik, anak yang kuat. Kakek yakin, cucu Kakek yang tampan ini pasti bisa hidup normal. Percaya sama Kakek," kedua tangannya memegang pundak Asa lalu menatap bola mata biru milik anak laki-laki itu.

"Kamu pasti bisa melepas kutukan ini. Tunggu sampai Nenekmu siap untuk memberitahumu, maka kamu pasti akan lepas dari kutukan ini. Ingat! Kamu gak sendiri. Ada dua anak lainnya yang bernasib sama denganmu. Ayok, senyumlah. Kakek suka melihat senyum menawan cucuk Kakek."

Perlahan, Asa menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Lesung pipi milik anak laki-laki itu ikut terlihat. Tak lama terdengar kekehan yang berasal dari keduanya. Danau menjadi saksi kalau senyum alami pertama milik Asa kembali terlihat setelah sekian lamanya. Tanpa Asa sadari, pertemuan itu merupakan akhir dari pembicaraan mereka.

.

.

.

.

.

"Weh Noo, tangkap!"

Hap...!

Sebungkus roti dengan selai nanas berhasil di tangkap oleh Sunoo, meski sempat mengenai wajahnya. "Apa nih?" tanyanya sambil menatap heran sang pelaku.

Cinta Penawar KutukanWhere stories live. Discover now