♧Chapter29♧

13 11 0
                                    

Siang ini tidak seterik biasanya. Awan sedikit gelap namun sepertinya tidak akan turun hujan. Matahari tampak malu-malu untuk keluar, apakah matahari benar-benar malu atau justru merasa takut? Takut melawan takdir dan berusaha untuk melaksanakan sesuai dengan tugasnya. Angin pun turut berhembus, seakan-akan menari dan ikut dalam permainan takdir. Apakah ini takdir? Yah, itu benar. Namun, apakah takdir bisa diubah?

Pertanyaan itu menjadi satu dari sekian banyak pertanyaan yang terus terlintas di benak seorang gadis yang tengah berdiri sambil terdiam di tepi pembatas rooftop. Rambutnya yang pendek tanpa ragu bergerak mengikuti tarian angin. Roknya pun tampak malu-malu untuk ikut bergerak meski sedikit. Sorot matanya menyiratkan keputus-asaan. Matanya bengkak, dan dia terlalu lelah hanya untuk melanjutkan tangisannya. Bahkan wajah bagian pipinya tampak sedikit mengeras bekas lelehan air mata. Tidak ada siapa-siapa di sini, sekiranya itu yang membuatnya merasa aman sekarang.

Tempat ini masih di tempat yang sama di saat dirinya mulai benar-benar putus asa dengan dunia. Kutukan, cacian, benci, dendam, kecewa, perasaan, dan juga fitnah. Perpaduan kata itu bila dipasangkan dengan beberapa kata-kata lain mungkin akan terdengar miris. Itulah yang terjadi pada gadis itu. Ingin pulang ke rumah, namun nyatanya rumah yang dulunya tempat untuk melepas penat setelah pulang sekolah kini menjadi awal dari munculnya masalah. Ingin pergi dari sini namun nyatanya masalah mungkin akan bertambah ketika dirinya terlihat berjalan di jalanan dengan pakaian seragam di waktu peroperasian sekolah masih berlanjut. Hanya satu yang menjadi pilihannya, tetap bertahan. Namun sampai kapan? Sampai dirinya bertemu dengan murid lain dan kembali mengolok-olok dirinya seperti kejadian dua jam yang lalu?

Itu benar-benar pengalaman terburuk bagi Winter. Mungkin kejadian tadi dapat menguji kuat mentalnya. Namun ini benar-benar kejam, dirinya bahkan dipermalukan dan harga dirinya seperti diinjak-injak. Dia benci pembullyan, namun kini dirinyalah yang merasakannya. Ingin melawan? Nyatanya kalimat perlawanan yang sering dia ajukan untuk pemain drama terbully yang sering dia tonton tak dapat dia praktekan. Tidak semudah itu. Hanya dengan mendengarkan cacian mereka, hati akan langsung terangsang. Sakit sekali, hingga kau pun lupa caranya perlawanan untuk diri sendiri itu seperti apa. Yang terpikir hanya cara untuk segera hilang dan menghindari mereka.

"Apa ini hukuman? Gak cukup kutukan gue yang jadi kesialan hidup? Gue capek," gumamnya pelan. Kepalanya menunduk dan kini dia mulai kembali terisak. Tak lama kemudian kepalanya kembali mendongak. Mata sayunya berubah menjadi sorot mata terkejut dan panik.

Kepalanya kembali menengok ke arah belakang tepatnya ke arah pintu rooftop dan beruntung dia sempat menguncinya. Setidaknya dirinya aman untuk sekarang. Tidak tahu apakah rasa aman yang dia rasakan akan bertahan sampai tiga sampai lima jam ke depan. Yang terpenting, dirinya harus tetap tinggal di sini. Meski kegiatannya hanya berdiri sambil memandangi lapangan outdoor sekolah di bawah sana, itu tak apa bagi Winter.

Dugh... Dugh... Dugh...!

"Winter, buka pintunya! Gue mohon tenangin pikiran lo. Jangan berbuat macam-macam. Jalan hidup lo masih panjang! Masalah gak akan selesai hanya dengan cara menghilangkan nyawa lo sendiri!"

Itu suara Asahi. Gadis itu terlampau kaget sampai tidak sadar hampir terjatuh jika saja tangannya tidak dengan cepat berpegangan pada pagar pembatas di belakangnya. Kalimat yang dilontarkan oleh laki-laki itu, apakah Asahi berpikir kalau Winter akan bunuh diri? Begitu miris. Winter tersenyum miring setelahnya. "Kumohon, jangan menyerukan hal lain yang bikin gue lupa sadar, Asahi. Bunuh diri ya? Bukankah itu terlalu kejam? Namun agaknya tidak begitu buruk. Terima kasih! Ide itu akan gue tampung sampai di waktu gue benar-benar siap!" serunya.

Terdengar suara dobrakan pintu itu kini kian mengeras, seolah-olah Asahi sangat memaksa agar pintu itu terbuka. Namun sang gadis yang menjadi alasan laki-laki itu berbuat demikian nampak tidak peduli. Merasa terganggu pun tidak, meski sempat terbesit cela rasa kasihan kepada laki-laki itu.

Cinta Penawar KutukanWhere stories live. Discover now