Sequel Siviel 2

437 48 10
                                    

Met ramadhan all:*

.

.

.

.

.

"LO TUH UDAH MATI BANGSAT! GABRIEL, LO TUH UDAH MATI!!" Teriak Via histeris.

"Via.." Dari dapur, Ify terkesiap dan bergegas menghampiri Via yang mulai tampak kacau, disusul ke-2 temannya yang lain, tak lain Shilla dan Agni. Ify langsung menghambur memeluk Via erat berusaha mencegah Via bertindak kasar yang membahayakan dirinya sendiri, juga calon manusia lain yang masih bergelung nyaman dalam perutnya.

Via yang terlalu tenang sejak 2 bulan terakhir memang tidak salah bila menjadi kekhawatiran banyak orang. Apa yang mereka saksikan kini bukanlah sesuatu yang tidak pernah terlintas di pikiran. Suatu saat tembok Via pasti runtuh juga dan sekarang lah waktunya. Meskipun ketika Via akhirnya meledak, mereka tetap terkejut dan panik. Tapi kalau boleh jujur, lebih baik seperti ini. Kadang, lebih baik air itu bergejolak namun membawa mereka bergerak beranjak, daripada air yang tenang namun tidak membuat mereka ke mana-mana, tetap di tempat yang sama, terjebak dalam duka panjang dan entah sampai kapan.

"LO MUNCUL TERUS KAYAK GINI TU BUAT APA, HAH?!! GUE GA BISA HIDUP! LO MAU GUE MATI JUGA HAH?! LO MAU GUE SAMA ANAK LO NGIKUT LO APA GIMANA?!! JAWAB ANJING!! JANGAN NGELIAT GUE DOANG BISANYA!! JAWAB, GABRIEL, JAWAB!!"

Via meracau dengan air mata bercucuran deras di pipinya. Ia lalu merasa kakinya lemah dan seketika kembali terduduk di sofa. Ia pasrah dan hanya menangis dalam pelukan Ify, disusul Agni dan Shilla. Seluruh energinya tiba-tiba menyusut dan hanya tersisa sekadar untuk mempertahankan kesadarannya.

Melihat kawan karib jatuh terpukul, ketiganya tak bisa tidak ikut hancur. Ify dan Shilla sudah lebih dulu menangis sementara Agni berusaha keras menghalau air mata agar tidak menetes ke pipinya, walau matanya sudah amat memerah dan pandangannya beberapa kali berbayang.

Seharusnya, setidaknya satu di antara mereka ada yang bisa tetap kuat untuk menyangga mereka yang sudah jatuh tak berdaya. Nyatanya, situasinya terlalu menyedihkan. Rio, Cakka, dan Alvin bahkan sama saja kacaunya. Cakka membisu menatap foto Gabriel yang terpajang gagah di dinding. Alvin berkacak pinggang seraya menengadahkan kepala frustasi. Rio berusaha memalingkan pandangan ke mana saja menutupi sorot kesedihan pada wajahnya. Mata ketiganya sama merahnya dengan para istri.

Selama ini, mereka semua belum sempat betul-betul 'menikmati' kesedihan atas meninggalnya Gabriel. Semua berusaha menekan dalam-dalam segala perasaan kehilangan dan berusaha tegar untuk menjaga perasaan Via. Semua merasa bertanggung jawab untuk menjadi yang paling kuat guna menyokong yang lain tetap berdiri.

Sampai akhirnya Via menyerah, mereka sontak menyerah pula. Bukan hanya lara atas kehilangan teman, tapi juga perasaan gagal untuk menguatkan Via. Meski sebetulnya ada hikmah yang tanpa sengaja mereka dapat. Untuk pertama kalinya, semua orang bisa melampiaskan perasaan yang hancur setelah kehilangan seorang sahabat karib dan setia. Kehilangan orang yang sudah separuh hidup bersama dalam suka dan duka. Apalagi, Gabriel nyaris selalu menjadi pembangkit suasana.

Kalau saja ada di antara mereka yang bisa meramal masa depan, Rio, Cakka, dan Alvin sudah pasti akan menyempatkan diri berpamitan dengan Gabriel untuk terakhir kali, tidak peduli apapun halangan saat itu. Penyesalan bertubi-tubi seketika menghentak jiwa ketiganya. 3 bulan lalu, tidak ada satupun dari mereka yang datang mengantar Gabriel pergi bertugas. Takdir betul-betul kejam karena membuat ketiganya sama-sama sibuk di hari yang sama.

Semua hal pada hari itu terasa normal. Hari cerah tanpa tanda-tanda akan muncul badai. Tidak ada bayangan dan firasat. Gabriel berpamitan dan masih bertingkah jenaka dalam grup chat mereka. Sedikitpun tidak tersirat kalau tugas pria itu kali ini adalah tugas tidak biasa. Karena Mereka pikir Gabriel pergi dan pasti akan kembali, seperti biasa setiap kali pria itu bertugas.

MatchmakingDonde viven las historias. Descúbrelo ahora