Part 38 - Suddenly, What Is Love?

3.1K 164 13
                                    


Beb, gue kalo bikin part kepanjangan ga sih? Ngintip cerita orang words nya kok pada ga sebanyak gue haha. Ngomong ya kalo emang sumpek baca panjang banget.

***

Via berdiri menengadah menatap bangunan tinggi di depannya, memastikan kalau ia tidak salah alamat. Ia meluruskan pandangannya kembali ke depan dan mulai melangkahkan kaki melewati pintu masuk lobby tempat yang dulu pernah tidak sengaja ia sambangi bersama seseorang. Tempat tersebut tak lain adalah..

"Selam—loh kamu lagi? Kok sendiri?" Sapa wanita berpakaian seksi yang merupakan pemilik atau mungkin pengelola atau mungkin hanya resepsionis atau entahlah Via tidak peduli dan tidak berniat bertanya, dari gedung yang ia masuki.

"Ada kamar kosong?" Tanya Via tak mau basa-basi.

Wanita tadi hanya mengedikkan bahu lalu kemudian menunjukkan senyum cerianya. Baru kali ini Via merasa tak terganggu dengan lengkungan di bibir wanita itu. Tidak ada seorang pun yang tahu dirinya 'bermasalah' di sini. Tidak akan ada seorang pun yang akan memperlakukannya 'berbeda'. Itu jualah alasannya memilih melarikan diri kemari, ke motel yang pernah menjebaknya bersama Gabriel.

"Lantai paling atas masih available?" Tanya Via. Ia ingin jauh dari hiruk pikuk namun matanya tidak terhalang untuk melihat dunia.

Resepsionis laki-laki di hadapannya mengecek sebentar pada komputer di depannya lalu menegakkan kepala sambil tersenyum formal. "Masih, Miss."

Via menganggukkan kepala lega karena semua rencananya berjalan lancar sampai saat ini.

"Cash or card, Miss?" Sang resepsionis kemudian bertanya sambil mengisi formulir pemesanan kamar di komputer.

"Card."

Via menyerahkan kartu ATM miliknya pada laki-laki di hadapannya. Ia malas mengambil uang tunai terlalu banyak. Ia tidak ingin tas kecilnya bertambah berat. Tidak ada orang yang akan 'mencarinya'. Tidak akan ada juga yang berniat melacaknya. Memangnya dirinya siapa?

Gue juga bukan orang hilang.

"Ini kuncinya, Room 93, Miss. Semoga puas dengan layanan kamar kami!"

***

Gabriel melangkah cepat memasuki kantor Papanya. Napasnya memburu, kombinasi karena sesak oleh laju kakinya dengan kepanikan yang melandanya saat ini. Ia bahkan tidak menunggu sampai napasnya kembali normal untuk mengetuk pintu dan masuk ke ruangan sang ayah.

Damanik, ayahnya, menegakkan kepala dan lantas menyambutnya dengan tatapan kaget sekaligus heran karena dirinya muncul tiba-tiba. Mata tajam laki-laki itu fokus memandangnya hingga mereka benar-benar berhadapan.

Kali ini, Gabriel baru akhirnya berusaha meredam deru napas karena ia kesulitan untuk mengeluarkan suara. Sementara Damanik seperti sudah tidak sabar mengetahui alasan kedatangannya.

"Kenapa muka' mu begitu? Kenapa kau lari-lari? Si Rooney mati? Siapa yang tumbur?" Tukas Damanik dengan logat batak kental. Laki-laki itu dengan gamblang membicarakan Rooney, anjing peliharaan kesayangan Gabriel.

Kalau biasanya Gabriel akan berdecak kesal dan menimpali celetukan asal laki-laki itu, sekarang pemuda itu justru hanya diam. Pemuda itu hanya membalas dengan gelengan kepala. Hal itu lantas menjadi petunjuk pada Damanik kalau sang anak sedang tidak baik-baik saja.

"Minum dulu kau, Nak." Bujuk Damanik seketika berubah lunak. Ia menyodorkan segelas air putih yang tersaji di atas mejanya.

Gabriel maju selangkah lalu menyerahkan ponselnya dengan tangan bergetar ke hadapan Papanya. Damanik menurunkan pandangan dari wajah Gabriel ke layar ponsel anaknya itu. Ia lalu mendapati sebuah foto anak gadis perempuan yang kemungkinan besar seusia dengan Gabriel.

MatchmakingWhere stories live. Discover now