02. Tak Ada yang Spesial

1.2K 124 5
                                    

play ; TULUS - Diri

Tidak terasa, sudah cukup panjang waktu menempuh lintasannya, sejak pertama kali Rian jadi anak kelas 12. Perlahan, rasa spesial itu lenyap. Rasa spesial-nya jadi anak kelas 12. Makin ke sini, semuanya makin terasa biasa saja. Tak ada yang spesial dari jadi anak kelas 12, meskipun dari awal Rian memang tak mengharapkan hal itu. Hanya satu hal yang Rian senangi dari semua ini; akhirnya Bunda mengijinkannya ke sekolah naik motor sendiri, asalkan helm, jaket, lengkap semua.

Rian yang tengah sibuk memakai kaus kakinya di sofa ruang tamu, tak sengaja tertarik atensinya pada Tirta yang tak kalah sibuk, mencari perhatian Papa yang seolah sedang tak acuh padanya.

"Papa, masa masih marah, sih?" Begitu, Tirta bertanya dengan nada bergurau.

"Enggak. Ngapain Papa marah? Memangnya kamu ada salah apa-apa sama Papa?"

Tirta menggeleng, "Enggak, sih ...."

Padahal jujur saja, kejadian waktu itu masih membayangi siapapun yang ada di rumah ini. Kejadian waktu itu, saat Tirta memilih program pendidikan Ilmu Komunikasi di UTBK, bukannya pendidikan dokter gigi dan yang mengejutkannya lagi, Tirta lolos. Ntah, kapan dan bagaimana anak itu belajar untuk UTBK saat hari-harinya tampak dipenuhi dengan dirinya yang berusaha memenuhi tuntutan rasa malasnya. Papa dibuat begitu kaget saat mengetahui semua itu. Papa meminta kejelasan dan Tirta hanya menjawab, "Nggak sengaja, Pa. Yang penting lolos."

Di antara Ran, Jehan, Tirta dan Rian, masih hanya Tirta yang berani menentang keinginan Papa. Bukan, sebenarnya, ini lebih ke masih hanya Tirta yang tidak berminat menjadi dokter. Meski Bang Ran dan Bang Jehan masuk kedokteran dengan sedikit dorongan Papa, setidaknya mereka memang memiliki minat di bidang itu. Beda dengan Tirta yang tidak punya minat di bidang itu. Bisa dibilang, sama sekali.

"Udah mau berangkat, Rian?" Tanya Bunda sembari menyimpan botol minum Rian pada tasnya. "Buruan dikit, udah jam segini. Nanti kamu telat lagi."

Mendengar itu, kening Papa dengan cepat terkerut, "Telat 'lagi'?"

Bunda menghela napas. "Dua hari yang lalu."

Rian mendelik kaget, kenapa Bunda harus buka kartu begini, sih!?

"Kok bisa?" Nada Papa terdengar makin serius, bahkan kini atensinya sepenuhnya mengarah pada Bunda yang siap menceritakan semuanya pada Papa.

"Lupa bikin tugas," sahut Bunda singkat. Pandangan Bunda yang semula mengarah pada Papa, sekarang beralih pada Rian. "Padahal Bunda udah kasih saran, di sekolah aja. Selain karena udah keburu, waktu juga udah terlalu siang. Jawabnya malah, "Malu sama temen, Bun." Terus, akhirnya telat, deh. Lebih malu mana?"

Rian bergidik, "Sama aja, nggak ada yang lebih malu."

"Besok-besok jangan diulangi," peringat Papa.

"Jadi, boleh ngerjain PR di sekolah?" Tanya Tirta.

"Bukan yang itu! Ngerjakan PR itu di rumah, kalau di sekolah bukan PR namanya."

Tirta hanya terkikik geli.

"Janji sama Papa kamu nggak akan ngulangi kesalahan yang sama."

•✧ ──── ♪ ♬ ♪ ──── ✧•

"WAKWAOOOO!"

Rian kaget. Bisa-bisanya orang iseng itu ngagetin Rian di kantin sekolah yang masih sepi ini, sepagi ini.

"Kenapa nyari gue?"

"Nggak ada temen, gua. Kelas gua yang sekarang isinya ngartis semua."

Rian ngakak. Senggak bisa-nggak bisanya Rian bergaul, masih ada yang lebih nggak bisa ternyata.

RANTAI • 00L NCT DREAMWhere stories live. Discover now