19. Kawan Anak Tengah

514 62 2
                                    

"Lihatin apaan? Serius amat."

Tirta mendongak, dilihatnya Rian tengah mengintip isi ponselnya--daftar harga-harga kamera paling terjangkau 2022. Meski sudah terlambat, Tirta tetap berusaha menyembunyikan apa yang sedang ia cari di ponselnya itu, dengan segera mematikannya.

"Sejak kapan lo di sini? Kok gue ga ngeh?" Tanya Tirta basa-basi.

Rian bergidik, sebab tahu pertanyaan itu hanyalah pengalihan topik yang berusaha Tirta lakukan. Rian sudah tahu, apa yang sedang Tirta lakukan dengan ponselnya, tapi ia memilih untuk berlagak seolah tak tahu apapun. Begitu canggung baginya untuk membicarakan tentang hal itu. Sebab Rian pernah marah selama beberapa hari pada kakaknya ini gara-gara benda itu.

Tirta terkikik aneh.

"Tadi lihat ya?"

Rian yang kini duduk di sisi Tirta, menoleh, "Lihat apaan?"

Bukannya menjawab pertanyaan Rian, Tirta malah menyahut, "Jangan ngira gue bakal ngasih kejutan kamera buat lo. Jangan naruh harapan besar sama gue, karena lo sendiri tau bakal kaya gimana akhirnya nanti," jelasnya. "Gue cuma lihat-lihat."

"Iya, tau. Aku nggak segoblok itu, ngarep sama Kak Tirta. Ngarep itu sama Tuhan Yang Maha Esa."

"Pffftt--"

Iya, Rian bener. Tirta juga nggak akan nyalahin pernyataan Rian barusan. Cuma ya, lucu aja. Di antara mereka berempat, emang nggak ada yang bisa dipercaya soal janji. Kalau ada, cuma Bang Ran orangnya. Seolah-olah, di sini, yang salah server tuh sebenarnya Bang Ran.

"Gue ngerasa bersalah aja." Tirta kembali angkat suara, tepat setelah terdengar suara 'cekrik' dari ponsel Rian yang tengah memotret panorama langit sore ini.

"Buat apa? Udah lewat. Aku juga udah lupa."

Tirta sedikit berseringai. "Di dunia ini tuh nggak ada yang bener-bener bisa kita percayai, Yan. Kadang-kadang, orang bohong demi kebahagiaan orang lain," katanya, "Kecuali Tuhan, satu-satunya yang bisa kita percaya." Ia melanjutkan.

"'Kan nggak ada yang tau aku lagi bohong apa enggak. Cuma Tuhan," balas Rian, sembari sibuk dengan kamera ponselnya.

Tirta menatap tajam Rian yang kini tengah bekeliling ke sana-ke mari, mencari objek foto baru.

"Nah, itu. Lu paham nggak, sih? Goblok banget." Tirta mengumpat.

Rian tak acuh. Sungguh, ia tak peduli lagi dengan apapun yang diucapkan oleh kakaknya ini. Rian kadang-kadang kesal bicara dengan Tirta, tapi hanya dengan Tirta, Rian merasa leluasa menceritakan semuanya. Rian tak menginginkan ini, tapi Rian bahkan bisa menceritakan apa yang tidak bisa ia ceritakan pada Bunda, sungguh.

"Kali ini serius, Yan--"

"Apalagi, aduh?"

"Gue ngerasa bersalah."

"Ck."

Tirta terdiam sejenak, sebelum kembali bersuara. "Satu-satunya benda yang menurut gue bisa ngedukung cita-cita lo, malah gue rusakin."

"Kalo ngomong tuh, yang jelas. Aku nggak paham."

"Cita-cita lo jadi fotografer, 'kan?"

"Enggak," jawab Rian singkat dan cepat. Jauh dari dugaan Tirta. Tirta pikir, Rian akan membutuhkan, paling tidak 3 detik untuk menjawab pertanyaan itu. Namun nyatanya, Rian bahkan tak menyisakan barang 1 detik setelah Tirta melontarkan pertanyaan itu.

Rian beranjak, alisnya kini tertekuk dan dengkusnya terdengar berat. Rian kini tampak benar-benar kesal. "Udahlah! Kak Tirta tuh, nggak tau apa-apa!!!" Serunya dengan marah, lantas pergi begitu saja, meninggalkan angin yang berembus tatkala Rian berlalu tepat di sisi Tirta.

RANTAI • 00L NCT DREAMNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ