20. Jauh dari Rumah

500 69 7
                                    

Rian memandangi dari jauh, Bang Ran yang kelihatan sibuk bersama kotak-kotak dengan beragam ukuran yang tersusun rapi di hadapannya. Meski ia tahu Bang Ran nampak kesulitan, Rian tetap hanya diam. Seakan-akan tega membiarkan si sulung dalam kesusahan.

"Rian! Dibantu kek itu abangmu!" Suruh Bunda dari kejauhan, dan tepat setelah seruan itu, Bang Ran kelihatan melirik ke arah Rian sekejap, lalu kembali pada urusannya.

Awalnya, Rian benar-benar ingin bersikap bodoamat dan meninggalkan Bang Ran dengan urusannya sendiri. Namun, naluri kesaudaraannya menyurutkan kekesalannya. Lama-lama, kasihan juga lihatnya.

"Aku bisa bantu apa?"

"Oh-- itu, tolong diplester, ya." Bang Ran menunjuk ke arah kardus yang terletak sekitar 2 kaki darinya.

Rian langsung bergerak, tanpa banyak basa-basi. Ia meminimalisir percakapan dengan cara langsung mematikan setiap topik yang Bang Ran coba bangun di antara mereka. Memang, beginilah cara Rian ngambek. Ia tak banyak bicara saat sedang merasa kesal, dan itu terkadang membuat jengkel orang-orang sekitar.

Karena Bang Ran juga sedang dikejar waktu, ia pun tak sempat untuk 'membujuk' Rian. Ia tak sempat untuk banyak berbicara dengannya. Saat semuanya sudah selesai, ia langsung pergi, sebab masih banyak urusan yang harus ia selesaikan.

Namun, sebelum Bang Ran pergi, Rian sempat menanyakan sesuatu.

"Bang Ran beneran mau pergi hari ini?"

Bang Ran hanya mengangguk singkat. Ia bahkan nampak terlalu sibuk untuk sekadar menjawab pertanyaan pendek itu. Meski begitu, Rian tetap sangat berharap Bang Ran tidak pergi secepatnya.

Rian beranjak, karena merasa ia sudah tak ada urusan lagi dengan kotak-kotak itu. Kini, ia menghampiri Bang Jehan yang tengah beristirahat setelah mencuci motornya tadi. Ia duduk tepat di sisi Bang Jehan.

"Motor gua jadi kaya motor baru ya, Yan? Apa gua ajak Naya jalan aja kali, ya?" Tanyanya, random. Sementara Rian hanya mengangguk-ngangguk kikuk.

Sebenarnya, Rian juga penasaran, tumben Bang Jehan ngambeknya tak se-lama biasanya. Namun, sudahlah. Lebih baik Rian lihat Bang Jehan yang ceria dan humoris seperti ini, dari pada lihat Bang Jehan yang murung dan marah-marah.

Bang Jehan menoleh, setelah sadar Rian dari tadi hanya senyap.

"Kenapa, sih, Yan? Lu kelihatan bete banget dah dari tadi pagi." Bang Jehan menanyai. Ia menyadari semua keanehan pada diri Rian seharian ini.

"Bang Ran," ucapnya. "Aku nggak pingin Bang Ran ngekost."

Bang Jehan kemudian mengangguk paham. Oh, jadi ini alasan kenapa Rian dari tadi kelihatan mengulur-ulur waktu, ya?

"Kenapa? Bukannya lu sendiri nggak suka kalau Bang Ran kesusahan? Ya, dengan ngekost, itu bisa mempermudah Bang Ran, 'kan?"

"Iya-iya, tau. Aku emang aneh." Rian membenarkan, "Tapi aku nggak suka kalo Bang Ran jadi harus pergi, alias jauh dari rumah."

Bang Jehan nampak terdiam, ia termenung tanpa sepatah katapun. Ia mungkin juga sedang bingung bagaimana cara menanggapi kalimat adik bungsunya ini. Namun, ia terus berusaha mencari tanggapan yang tepat, agar Rian mengerti, bahwa memang tak ada yang ingin Bang Ran jauh dari rumah, tapi keadaan yang membawa mereka pada keputusan ini.

"Semuanya juga sama, Yan. Gua, Papa, Bunda, Tirta--kita semua. Tapi, kondisinya begini, mau gimana lagi? Ah, gimana ya jelasinnya?" Bang Jehan menoleh ke arah Rian, "Kasihan Bang Ran. Seenggaknya, dia bakal jadi sedikit lebih bebas nanti."

Rian terdengar berdecak, dan dari decakan itu, seolah muncul sebuah pertentangan. Dan Bang Jehan tentu menyadarinya. Rian itu remaja yang labil. Ia memang jarang terlihat tidak baik-baik saja, tapi saat ia diserang berbagai masalah emosional, ia akan mulai bersikap seolah tak pernah ada yang mengerti akan dirinya. Ia cenderung akan menyangkal semua saran yang diberikan padanya. Bang Jehan tahu itu.

RANTAI • 00L NCT DREAMWhere stories live. Discover now