21. Siapa yang Peduli?

604 67 1
                                    

Dag!

Braakk!

"Fuck!"

"Buset!!! Santai!!!!" Seru Rian, tepat setelah Bang Jehan mengumpat akibat kesal karena barang-barang yang ia hendak ambil selalu lepas dari genggamannya.

"Gua lagi buru-buru!" Bang Jehan menyahut dari dapur.

Ia ke luar dari dapur dengan kalang kabut, mengambil jaket denimnya yang bertengger pada sandaran sofa.

"Mau ke mana Bang?" Tanya Rian panik.

"Ke luar. Sebentar. Tolong kasih tau Bunda, ya!" Jawab Bang Jehan.

Langkahnya terdengar gusar, Bang Jehan sepertinya memang buru-buru sekali. Namun, ia bahkan enggan untuk memberitahu ke mana ia akan pergi, ke luar ke mana yang ia maksud.

Di lain sisi, Jehan yang dalam sekejap sudah berada di motornya, langsung tancap gas. Tanpa ragu, ia terus menaikkan kecepatan motornya. Untung saja, ia ingat untuk berhenti saat hendak menyeberang, tidak asal terobos. Meski kini pikirannya kalut, ia coba untuk tetap fokus pada jalan.

Hingga akhirnya, tanpa sengaja matanya melihat seseorang yang memang ia cari-cari saat ini, tengah duduk di depan tempat duduk sebuah minimarket, dengan menundukkan kepalanya. Meski wajahnya terhalangi oleh rambutnya yang terurai, Jehan tetap dapat dengan mudah mengenali siapa cewek itu. Naya.

Ia segera menepi, untuk menghampiri Naya.

Jehan menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Ia harus menenangkan dirinya terlebih dahulu.

"Naya ..."

Cewek itu menoleh, "Kok kamu tau aku di sini?"

"Itu nggak penting," sahut Jehan. Ia mengambil posisi duduk tepat di hadapan Naya, di bangku yang berhadapan dengan bangku Naya. Setelah sempat hening sejenak, kini Jehan kembali berbicara, "Aku minta maaf."

Naya menggeleng, "Kamu nggak salah. Nggak ada yang salah. Udah, ya?"

Jehan menggigit bibir bawahnya gugup, "Tapi kamu kelihatan marah sama aku."

"Aku nggak marah. Kalaupun marah, bukan sama kamu."

Untuk ke sekian kalinya, Jehan kembali menghela napas. "Kalau gitu, aku minta kita selesaiin baik-baik, ya? Aku harap kamu nggak serius dengan perkataan kamu di telfon tadi."

Naya mengalihkan pandangannya, seolah menghindari kontak mata dengan Jehan, "That's not a joke. I'm serious 'bout that," katanya. "Dari pada kita backstreet terus gara-gara Papa nggak seneng kita pacaran. It won't works, Han."

"Yah ... kok ngomongnya gitu, Nay? Kok kamu jadi pesimis gini, sih?"

"Aku nggak pesimis, memang kenyataannya begitu." Naya mulai meninggikan nada suaranya, "Lagian aku nggak enak sama kamu, Han. Tiap kali ke rumah, Papa bakal ngomong yang jelek-jelek ke kamu. Kamu pikir aku suka dengernya? Padahal niat kamu selalu baik tiap ke rumah, 'kan? Kamu selalu berharap Papa akhirnya ngerestui, 'kan?" Tanya Naya, bertubi-tubi.

"Aku nggak pa-pa, Nay. Memangnya aku pernah kelihatan tersinggung gara-gara Papa kamu? Aku juga bisa sedikit memahami, Papa kamu pasti pingin yang terbaik buat anak perempuannya. Apalagi kamu satu-satunya." Jehan mencoba meyakinkan, tapi Naya sepertinya sudah tidak ingin dengar apapun. Hal itu nampak dari bagaimana cara cewek itu tidak merespon sama sekali ucapan Jehan. Yang ia lakukan hanyalah membiarkan hening memutus percakapan tersebut.

"Tolong ya, Naya? Aku minta satu kesempatan lagi." Jehan kembali buka suara. Netra cokelatnya menunjukkan sebuah keseriusan. Dan tepat setelahnya, Naya akhirnya bersuara.

RANTAI • 00L NCT DREAMWhere stories live. Discover now