22. Selalu Ada

849 81 6
                                    

"Dunia ini nggak pernah cuma sebatas sudut pandang kamu, karena nyatanya, dunia jauh lebih kompleks."

"Kalau kamu merasa nggak ada orang lain yang bisa mengerti diri kamu, sebenarnya memang begitulah kenyataannya. Kamu adalah pemegang kendali dari diri kamu sendiri, dan nggak ada orang lain yang bisa mengenali diri kamu selain kamu sendiri."

.
.
.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat empat puluh menit malam hari, dan Rian masih belum tidur. Meski kini posisinya tak lagi berada di meja belajar, melainkan di kasur dan bahkan sudah dalam posisi terlentang, ia masih saja belum terlelap. Begadang kini sudah jadi kebiasaannya. Mungkin akan sedikit lebih sulit untuk menghilangkannya jika sudah jadi kebiasaan.

Rian masih saja merasa terganggu oleh pertanyaan Kak Tirta serta asumsinya mengenai cita-cita Rian beberapa waktu lalu. Kak Tirta terus saja meyakinkan Rian untuk mengambil program studi yang sungguh-sungguh menjadi passionnya saat kuliah nanti. Rian tak mengerti, mengapa Kak Tirta begitu tidak percaya saat Rian bilang ia ingin menjadi dokter seperti Bang Ran.

Awalnya, Rian mengira hal itu semata hanya karena Kak Tirta yang suka memaksakan kehendaknya, terutama pada Rian. Namun, rupanya pemikiran Rian tersebut hanyalah bentuk dari ketidaktahuannya mengenai betapa khawatirnya Kak Tirta pada Rian, selaku kakaknya.

Kini, pemikiran itu mulai berubah. Ia mulai ragu pada pilihannya sendiri.

Sebentar, apakah benar jika hal itu disebut sebagai 'pilihannya sendiri'? Bukannya itu bukan benar-benar pilihannya?

"Omongan Kak Tirta ada benarnya, ya?"

Rian mencoba kembali memikirkan ulang pilihannya. Membandingkan keduanya.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Rian akhirnya memutuskan sendiri keinginannya. Hal yang cukup sulit bagi Rian yang sejak kecil sudah di'arah'kan segala sesuatunya, dan tidak pernah diberikan kesempatan untuk memutuskan sendiri kemauannya.

"Iya. Omongan Kak Tirta memang benar."

•✧ ──── ♪ ♬ ♪ ──── ✧•

"Hari ini, sepi banget, sih? Pada sibuk semua, ya?" celetuk Tirta dengan sinis pada siapapun yang kini tengah mendengarnya.

Sementara itu, Rian yang ada di ujung sofa sana, hanya melirik sekejap, lalu buang muka, seolah tak peduli dengan kehadiran Tirta.

Tirta menghampiri Rian, dan menjatuhkan dirinya begitu saja di sisi Rian. Kebetulan, Rian sedang meletakkan tangannya tepat di titik Tirta duduk saat ini. Sontak anak itu berteriak nyaring, "AKKK!!!!! SAKIT TAUUUUU!!!!" serunya.

Tirta terpelanting kaget, "Eh!! Maaf, maaf!! Gue nggak lihat!!"

Rian melirik tajam Tirta sembari manyun. Tirta yang melihat, tanpa ragu kembali mendekati Rian dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di pipi Rian. Bukannya berhenti ngambek, Rian justru makin kesal karena itu. "KAK TIRTA!!!"

"Dikit doang!!" Tirta berteriak balik, "Sama abang sendiri juga!" celotehnya.

Dengung melintasi keduanya ketika hening mulai mengambil alih. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Oh- bukan, lebih tepatnya, Rian. Rian lah yang kini tengah sibuk berdebat dengan pikirannya yang memang sudah dipenuhi banyak sekali pertanyaan sejak semalam. Ia bahkan tidak bisa tidur karenanya.

Rian memandang ke arah langit-langit, "Kak Tirta," panggilnya.

Tirta langsung menoleh, "Kenapa?"

"Gimana kalo aku gap-year aja?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 08, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RANTAI • 00L NCT DREAMWhere stories live. Discover now