18. Rencana Kepergian Bang Ran

540 72 5
                                    

"Oi, Ran!"

"Oit!"

"Jadi, ga?"

Ran berdesis, berpikir keras untuk segera memutuskan. "Lo duluan aja, dah, Yud! Ntar kalo jadi gua kabarin!"

Yudha mengacungkan jempolnya, lantas menurunkan kaca helmnya. Siap untuk tancap gas dalam hitungan sepersekian detik. Setelah gerungan motornya terdengar menjauh, dan ia tenggelam di antara ramainya jalanan, Ran memutuskan untuk menyusul, meninggalkan parkiran rumah sakit.

Kali ini, Ran tidak mengendarai motor sambil menggunakan earphone. Lagi pula saat ini, tak ada yang bisa ia dengar melalui benda itu. Sekarang bukan jadwalnya. Namun, Ran yang sudah kebiasaan dan nyaris menganggap bahwa mengemudi sambil menggunakan earphone adalah rutinitas baginya, membuatnya kini sedikit jenuh.

Motor dan mobil yang berlalu lalang, belum lagi para pengendara motor yang knalpot motornya sengaja dimodifikasi hingga suaranya terdengar begitu bising, membuat Ran muak.

Ia putuskan untuk beristirahat sejenak, di salah satu kafe di pinggir jalan. Kafe yang sangat terkenal di kalangan Ran dan adik-adiknya.

Matanya menelaah, mengamati seisi jalan, kanan dan kiri. Mencari-cari keberadaan kafe itu, kafe kesukaannya.

Oh-- itu dia!

Ran segera menyalakan lampu sein kiri motornya, memberi tanda pada pengemudi yang ada di belakangnya, bahwa ia akan segera berhenti tepat di kafe yang ada di sebelah kirinya.

Kafe ini, sebenarnya sama saja seperti kafe lainnya. Semua kafe memiliki ciri khasnya sendiri, yang tak mungkin sama dengan kafe lainnya. Namun, yang membuat Ran jatuh cinta pada kafe satu ini, lebih dari sekadar ciri khasnya. Tapi sesuatu yang ada di dalamnya; yang menjelma dalam bentuk bait-bait memori.

"Dulu, kita sering singgah ke tempat ini
Kata di antara kita jadi perantara
Antara luasnya serbuk-serbuk cinta yang membara
Bagiku, itu nyata
Namun bagimu, itu fana
Lantas, betulkah itu bagi semesta?"

Ran tersentak, suara itu benar-benar menggetarkan atmosfir di sekitarnya.

Sudah, cukup. Ran bukan anak senja. Tapi, Ran tak ingin memungkiri kalau sajak-sajak barusan benar-benar mewakili kisahnya, walau tak sepenuhnya benar. Ah, sial. Mana Ran ngerasa kenal lagi sama suaranya.

"Jadi gimana, Zel? Menurut lu bagus, ga?"

"Yaelah! Sajak lu yang mana sih yang ga bagus, Rin?"

"Ga gitu juga, kali! Hahahaha."

Sungguh, Ran tak tahu, dan (sepertinya) tak ingin tahu siapa mereka. Namun, mereka mengobrol layaknya hanya ada mereka di sini. Ran berada tak begitu dekat dengan mereka, namun obrolan mereka terdengar jelas hingga ke telinganya.

Ran menurunkan standar motornya, lalu hendak membuka helmnya. Namun, ia terhenti sejenak, kala ia menyadari bahwa matanya menangkap seseorang yang tak asing, tengah berjalan menuju salah satu mobil yang ada di parkiran itu. Ran tak percaya.

Berarti, suara tadi bisa aja beneran suara dia!?

Melalui penglihatannya yang terbatas kaca helm buram yang kotor, Ran terus mengikuti ke mana perginya perempuan itu, bersama laki-laki yang menyusul di belakangnya. Sayang, Ran tak dapat mengenali siapa laki-laki itu, jadi, Ran tak dapat berspekulasi lain, selain laki-laki itu adalah 'teman dekat'nya.

Tapi, masabodoh! Ran hanya ingin menyapanya, lalu berbincang dengannya sebentar saja. Segera ia membuka helmnya, lalu menaruhnya. Saat ia hendak mengambil kunci motornya dan segera turun dari motor, ponselnya bergetar, tak hanya sekali, berkali-kali.

RANTAI • 00L NCT DREAMWhere stories live. Discover now