17. Si Pekerja Keras

577 68 5
                                    

"Kerja keras dan kerja cerdas itu sama pentingnya. Kamu nggak harus unggul dalam salah satunya, tapi kamu harus bisa jadi keduanya."

.

.

.



Di sini mereka sekarang; berkumpul di tengah hangatnya kamar Bang Ran. Tak ada suara yang tercipta, kecuali dari kipas angin minimalis yang ditaruh di atas nakas dekat ranjang Bang Ran. Mereka berlima, betah berdiam dalam sunyi, menunggu hingga si sulung kembali membuka matanya.

Bang Ran sudah jadi tontonan di sini, di mana semua mata kini hanya terpusat padanya. Semua yang ada di sini, sudah tahu kalau Bang Ran sudah siuman, ia hanya masih belum ingin membuka matanya. Mungkin, ia terlalu lelah untuk itu.

Hening perlahan terusik eksistensinya, kala mata sayunya perlahan mulai terbuka lebar, mengantarkan senyuman tipis pada bibir milik masing-masing manusia yang ada di sini.

Bang Ran, bukanlah Bang Ran kalau kehadirannya tak selalu membawa kehangatan, kalau kehadirannya tak selalu disambut dengan senyuman. Bang Ran itu, persis seperti kilau mentari yang paling pertama muncul, di antara gelap dan redupnya langit fajar. Selain membawa kehangatan, hadirnya juga menjadi pengingat bagi seisi dunia, untuk semangat memulai hari baru. Sama seperti Bang Ran, yang selalu mengingatkan siapapun terutama adik-adiknya, untuk selalu semangat menjalani hari.

Ia menggumam sesekali, akibat kepalanya yang kini terasa begitu berat.

"Ngapain pada di sini, sih?" Itulah pertanyaan yang pertama kali Bang Ran lontarkan.

Jehan menyembunyikan senyumannya dan menggantinya dengan cepat menjadi wajah kesal. "Bersyukur dulu, masih diizinin buka mata sama Tuhan."

Mendengar itu, membuat Bang Ran berdecak. Bukan, Bang Ran bukan mempermasalahkan kalimat yang diucapkan Jehan, tapi bagaimana cara ia mengungkapkannya.

"Jam berapa?" Tanya Bang Ran kembali.

"Jam setengah dua belas," sahut Rian, yang sontak membuat Bang Ran terkejut dan terperanjat.

"Ran!" Bentak Bunda, marah dengan reaksi Bang Ran yang berlebihan. "Kalau mau bangun itu pelan-pelan! Kebiasaan kamu kalau bangun suka tiba-tiba!"

Bang Ran yang kini tengah memegang kepalanya yang kembali terasa begitu pening, hanya mengangguk-angguk singkat. "Abang kaget, Bun. Kok udah jam segini aja. Perasaan tadi waktu mergokin--"

"BANG RAN!!!" Tepat sebelum Bang Ran kembali melanjutkan kata-katanya, Jehan dengan gesit mendekap mulut Bang Ran. Reflek, katanya!

Bang Ran segera memberontak dengan brutal, melepaskan diri mungilnya dari dekapan Jehan yang notabenenya punya ukuran badan yang sedikit lebih bongsor, "KAMU MAU ABANG PINGSAN LAGI!?!?!?" Ucapnya sambil terengah-engah.

"BUKAN GITUUU!!!"

Reaksi Jehan yang sedikit berlebihan ini, tentu memunculkan kecurigaan pada setiap orang yang ada di sini, pastinya kecuali mereka berdua--Jehan dan Bang Ran. Namun, bagaimana kondisi Bang Ran saat ini, masih lebih menyita perhatian mereka.

Bang Ran memijat pelipisnya lembut, "Kalo gitu, kok pada belum tidur?" Ia mengganti pertanyaannya.

"Nggak ada yang bisa tidur," balas Rian langsung

"Semuanya khawatir sama kamu," timpal Papa, yang sedari tadi senyap. Ya, persis seperti yang dikatakan Papa, semua yang ada di sini memang tampak begitu mencemaskan keadaan Bang Ran. Termasuk Jehan, yang biasanya kelihatan cuek sama apapun, kali ini kentara sekali kalau ia tengah khawatir.

RANTAI • 00L NCT DREAMWhere stories live. Discover now