Pagi

146 26 11
                                    

---//---

"Kemarin di Poises Federal, Nii-san marah padaku. Aku tidak menyangka dia berhenti bicara sampai dua minggu lebih. Kau tahu? Aku tidak mengerti kenapa dia begitu keras kepala memintaku untuk bercerita.

"Padahal di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa dikatakan dengan mudah. Ada hal lain juga yang lebih baik kalau tidak dikatakan, bukan?"

Merasa tenggorokannya serak, Iori berhenti berbicara. Matanya kini berpaling pada jendela yang terbuka. Orang biasa mungkin tidak akan membiarkan akses angin malam masuk mengingat bulan pun sudah muncul di langit cukup tinggi menandakan selarut apa malam ini.

Hanya saja Iori sangat memahami kerajaan di mana dia lahir. Udara malam di langit Republik Aita tidak sedingin atau sepanas kerajaan lain. Berkah lain Republik Aita.

Yah, mungkin sudah waktunya menutup jendela. Tentu saja dia tidak akan membiarkannya terbuka semalaman.

Malam ini bulannya belum terbentuk sempurna, tapi masih cantik di mata Iori. Cahaya bulan tak seterang purnama penuh memberikan pencahayan temaram pada ruangan gelap yang kini Iori singgahi sebelum pergi ke kamarnya sendiri.

Tidak setiap hari Iori akan menghabiskan separuh malamnya di sini. Hanya saja besok dia akan pergi ke Kerajaan Utara. Dia merasa harus pamit sama seperti saat pergi ke Southmeir dan Poises Federal.

Iori mengalihkan perhatiannya. Kini dia berfokus pada orang yang terlelap di sebelahnya. Padahal sudah hampir satu musim dia menutup mata. "Kau ini putri tidur atau apa?" Iori terkekeh geli.

Matanya terus mengamati poni merah itu sampai tawa kecilnya menghilang di telan malam."Besok aku, Nii-san, dan yang lain pergi ke Kerajaan Utara untuk mengamankan simbol yang tersisa,"

Iori berbalik kembali memandangi bulan. Tubuhnya merosot di samping ranjang. Sambil bersandar Iori berkata pelan. "Ada banyak yang kau lewati. Bahkan di Southmeir kau tidak merasakan dikejar serbuan api," Iori tertawa lagi bersamaan dengan ingatannya tentang kejadian luar biasa melelahkan dan paling panas yang pernah dia alami.

Senyap. Tidak ada tanda-tanda pergerakan selain dada yang naik turun mengikuti ritme pernapasan. Iori mengembuskan napas panjang. "Aku jadi penasaran mimpi apa yang menahanmu sampai kau tidak mau terbangun. Kau bilang sendiri tidak bisa menggunakan sihir, tapi ternyata punya sihir kuat seperi itu atau kau sebenarnya bisa, tapi tubuhmu tidak bisa mengikutinya? Ah, yang mana ya... aku lupa... bisakah kau bangun dan mengatakannya sekali lagi?

"Tapi mungkin lebih baik kalau kau tidak bangun sekarang. Perang yang kau benci sudah tidak ada lagi, tapi empat kerajaan yang membuatmu bersemangat sudah jatuh dalam kehancuran. Pasti sakit kalau kau mengetahuinya,"

Padahal tadi dia sudah berniat untuk kembali ke kamarnya. Padahal dia tahu kalau bisa saja ceritanya tidak akan terdengar. Hanya saja entah mengapa mulutnya yang biasa terkunci rapat sekarang lancar menyampaikan hal yang tidak bisa Iori katakan pada orang lain.

"Nanase-san, apa kau pernah berpikir kalau sihir seharusnya tidak ada dunia ini? Meragukan sihir... aku akui itu. Kalau aku meragukan sihirku. Sebenarnya meragukan dalam sudut pandang apa?

"Nanase-san, kau bilang kalau sihir mengagumkan sekaligus rapuh dan merugikan, tapi kau tidak pernah meragukannya, bukan? Saat aku memikirkan keberadaan sihir di dunia ini, aku tidak bisa menemukan jawaban yang memuaskan untuk diriku sekeras apapun aku mencoba. Makanya cepat bangun dan katakan sesuatu yang tak terduga untuk menyadarkanku,"

Jeda sesaat menunjukkan bahwa Iori memang bicara sendiri dari tadi. Iori membuang napas berat. Bangkit dari duduknya dan menghampiri jendela yang terbuka. Semakin mendekat dia bisa merasakan hawa dingin juga penampakan langit malam dengan bulan dan bertabur bintang.

Another Story [VALIANT] (END)Where stories live. Discover now