[Tambahan] Kisah Rei dan Rui

162 29 3
                                    

"Kau benar-benar akan pergi?" Rei menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua. Mata merahnya memandangi rambut putih panjang yang menjulur di atas lantai kuil. Rui, pemilik rambut putih itu tampaknya tidak peduli kalau surai cantiknya kotor atau terinjak-- sengaja diinjak-- Rei.

Ujung kaki telanjang Rui menendang-nendang pucuk salju di bawahnya. Dia duduk di serambi kuil sambil menggerakkan kepalanya ke kanan ke kiri. Mendengar pertanyaan Rei, Rui berhenti dari aktivitasnya dan menoleh. Tersenyum jahil. "Kau takut merindukanku?" 

Rei memutar bola matanya jengah. Kemudian berkata dengan nada sinis. "Kau hanya dimanfaatkan manusia-manusia itu,"

"Aish, Rei-chan," Rui bangkit dari duduknya, menghampiri Rei dan memukul perutnya. Pukulan yang cukup keras sampai membuat Rei mengumpat. Mendengar itu, Rui memukul kepala Rei sambil mengomel.

Rui mendengus jengkel kemudian ikut menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil. "Aku memahami ketidakpercayaanmu pada manusia, tapi setidaknya kita harus mencoba sesekali. Apa kau tidak bosan?"

"Bosan?" Rei mengedikkan bahunya. "Sepertinya tidak. Aku tidak peduli pada kehidupan,"

"Terdengar menyedihkan," sahut Rui sambil memasang ekspresi simpatik. Rui membuang napas berat. "Kalau kau tak menghargai kehidupan, kau akan menyesal,"

"Tidak menjadi sebuah alasan untuk mempercayai manusia," balas Rei sinis. "Rui, ini keputusan besar. Memberikan kekuatan sihir pada manusia bisa saja membawa malapetaka. Aku yakin mereka akan mengacaukannya,"

"Aku tahu," Rui tersenyum lembut. "Hanya saja ini jalan yang aku pilih. Aku tidak mau hidup hanya sebagai sang penghukum. Aku ingin mengubahnya. Aku akan membuat dunia menjadi lebih baik lagi... jadi... aku tidak perlu menghukum siapapun...,"

"Rui berhati-hatilah pada keinginanmu. Kau bisa mendapatkan karma atas itu," tegur Rei serius.

Rui menunduk mengamati ujung jari kaki putihnya. "Aku tahu itu,"

Mata Rei memicing ke arah Rui. Gadis bermata biru itu masih diam. Hari ini Rui melakukan sebuah langkah besar. Tidak hanya membuat manusia bisa menggunakan sihir dan mewujudkan guardian pada sebuah simbol, Rui berniat pergi ke sebuah kerajaan gersang di pinggir laut. Meninggalkan kehidupannya. Meninggalkannya demi manusia.

Rei melipat tangannya. Berkata dengan nada cuek. "Lakukan maumu,"

Rui mengangkat wajahnya. Tersenyum tulus ke arah Rei. "Jaga dirimu baik-baik,"

Tidak ada jawaban dari Rei. Dia hanya memandang lurus ke depan menembus hutan-hutan bersalju dan langit lautan bintang. Masih tersenyum Rui ikut menatap pemandangan di depan. Setelah beberapa saat hening, Rui membuka mulutnya. "Kalau suatu saat nanti mereka mengacaukannya... aku sendiri yang akan menghukum mereka,"

Mulut Rei masih terkunci. Malam mereka habiskan hanya dengan memandangi bintang tanpa suara. Rei tidak tahu malam itu apa yang dia rasakan. Mungkin sampai ribuan tahun kedepan dia akan mengabaikannya.

Begitu yang dia pikirkan.

Hanya saja suatu hari setelah ratusan tahun terlewati, dia pernah terpikirkan bahwa perasaan yang dirinya rasakan malam itu adalah rasa iri.

Rei tidak pernah peduli dengan hidupnya. Dia hanya perlu memenuhi takdir yang sudah diputuskan untuknya, tapi Rui berbeda. Dia memilih melangkah sendiri. Memilih pilihannya sendiri. Bertindak atas keinginannya sendiri.

Entah bagaimana Rei iri dengan kemauan seperti itu.

Menghargai hidup?

Seberapa penting itu sampai Rui meninggalkannya.

Another Story [VALIANT] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang