8. Keputusan Araya

208K 25.9K 586
                                    

-H A P P Y R E A D I N G-

***

"Sumpah, Ray. Lo tadi keren banget!"

Ini adalah ucapan yang ketiga puluh kalinya yang Elita lontarkan untuk Araya. Dia saja sudah jengah mendengar kata-kata yang sama sedari pagi sampai sekarang istirahat.

"Pas lo narik kerahnya si Alaskar, beuh ... damagenya bukan main."

"Gue pikir bakalan ada adegan kek di drakor-drakor, ternyata lo malah dorong si Alaskar."

Araya hanya mendengarkan ocehan Elita masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Dia hanya asik menyalin catatan milik Elita. Dia merelakan jam istirahatnya untuk mencatat pelajaran yang belum dia lengkapi.

"Ray, kenapa gak sekalian lo cium aja si Alaskar?"

Uhuk!!

Araya tersedak air liurnya sendiri. Elita yang merasa bersalah langsung memberinya air minum dalam botol.

"Lo pikir gue cewek apaan maen cium-cium?" sungut Araya.

"Padahal momennya udah pas itu, Ray."

"Pas matamu! Lagian gue heran deh sama lo. Perasaan setiap ada kejadian gue gak liat lo, tapi lo seolah-olah ada di tempat kejadian."

Elita tersenyum bangga. "Lo-nya aja yang gak liat gue."

Araya kembali melanjutkan aktivitas menulisnya yang sempat terhenti. Di kelas hanya ada mereka berdua, karena murid yang lainnya sedang berada di kantin.

"Berarti pas kemarin gue disiram sama si Yolla, lo tau?" tanya Araya yang langsung diangguki oleh Elita.

"Kenapa lo gak nolongin gue?"

Elita hanya nyengir menampilkan sederetan giginya yang rapi. Araya hanya memutar bola matanya malas.

"Gue laper, nih. Ke kantin, yuk?" ajak Elita dengan wajah melas.

"Lo aja sana, masih banyak yang belum gue tulis."

"Makanya kalo guru lagi kasih penjelasan, lo langsung tulis. Bukannya malah molor," sindir Elita secara terang-terangan.

"Berisik. Sana lo pergi."

"Ngusir, lo?"

"Iya. Sana-sana pergi."

Elita berdecak kesal, ia segera bangkit dan melangkahkan kakinya keluar kelas.

"Gue titip susu kotak satu, El!" teriak Araya yang masih bisa terdengar oleh Elita.

Alasan utama kenapa Araya tidak pergi ke kantin adalah karena ia terlalu malas mendengar orang-orang yang membicarakan dirinya. Dia juga tidak ingin bertemu dengan anak Ravloska termasuk Alaskar. Walaupun mereka sekelas, tapi sepanjang pelajaran Araya tidur. Dia sengaja melakukannya agar tidak melihat wajah Alaskar yang menurutnya sangat bisa memancing emosi.

Araya mendengar seseorang memasuki kelasnya, dan Araya pikir Elita telah kembali.

"Cepet amat lo ke kan–"

Araya tidak menyelesaikan ucapannya saat menyadari bahwa itu bukan Elita. Seketika ia langsung memfokuskan dirinya kembali mencatat.

"Gue mau ngomong sama lo."

"Gue sibuk," jawab Araya tanpa melihat sang lawan bicara.

Alaskar menarik buku Elita yang sedang Araya salin. Raut wajah kesal terpancar di wajah cantiknya.

"Apaan sih, lo? Balikin bukunya!" pinta Araya sambil berdiri mencoba meraih buku tersebut, namun Alaskar semakin menjauhkannya.

"Gue bakalan balikin nih buku, kalo gue selesai ngomong."

Araya berdecak kesal dan kembali duduk. "Yaudah, buruan ngomong!"

Alaskar duduk di atas meja Araya sembari menghadap ke gadis itu. Araya sedikit terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Alaskar, namun dia sebisa mungkin bersikap biasa saja.

"Lo kenapa berubah?"

Kedua alis Araya terlihat menyatu. "Gue? Berubah?"

Alaskar menganggukkan kepalanya.

"Lo gak liat bentuk gue masih manusia? Gak berubah jadi ultraman sama sekali."

Alaskar terlihat menghela napasnya. "Kenapa lo ngehindar dari gue? Dan gak bersikap kaya biasanya?" jelas Alaskar.

"Kenapa, ya?" tanya Araya dengan raut wajah seperti sedang berpikir keras.

"Bukannya ini yang lo mau?"

Araya menatap kedua mata milik laki-laki di hadapannya dengan tatapan datar.

"Denger Alaskar, sikap manusia itu gak akan selamanya sama. Setelah apa yang udah lo dan anak Ravloska lakuin ke gue, lo pikir sikap gue akan tetap sama? Enggak."

"Dulu, gue mungkin emang bodoh. Ngejar-ngejar cowok yang jelas-jelas gak pernah menganggap keberadaan gue sama sekali."

"Jadi, mulai dari sekarang. Jangan beranggapan bahwa gue Araya yang dulu."

"Gue udah gak ada rasa apapun lagi sama lo, Alaskar."

Perkataan Araya mampu membuat Alaskar seketika terdiam. Araya merasa kata-katanya sudah cukup membuat laki-laki itu mengerti. Dia harus segera menyelesaikannya sekarang, agar nyawanya tidak terancam.

"Alaskar."

Araya melihat Kiran yang memasuki area kelas dan memanggil nama cowok itu. Sedangkan Alaskar masih terdiam, sibuk dengan pikirannya.

Araya tersenyum tipis seraya menepuk bahu Alaskar pelan. Setiap gerak-geriknya tak lepas dari mata Alaskar.

"Jaga cewek lo baik-baik. Gue gak bakalan ganggu lo berdua lagi, dan lo gak akan terbebani lagi sama gue, Alaskar Galendra."

Araya langsung pergi meninggalkan Alaskar dan Kiran begitu saja. Saat melewati Kiran, dia tidak menoleh sedikitpun. Ia hanya ingin cepat-cepat pergi dari sana.

"Semuanya belum berakhir, Araya Loovany."

-batas suci-

TRANSMIGRASI ARAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang