PART 1

9.2K 770 48
                                    

Terlalu sibuk dengan kegelisahannya, Garin sampai tidak menyadari seseorang dengan sepatu hitam mengkilat kini berdiri di hadapan.

Kepalanya mendongak. Garin meneguk ludah. Orang yang dia tunggu ... datang juga.

Terlihat jauh lebih dewasa dari yang terakhir kali dia lihat. Tampak terhormat dengan setelan jas mahal yang melekat apik di tubuh tingginya.

Sekilas Garin melihat tampilannya sendiri. Jeans dengan robekan di lutut, kaos putih belel dilapisi jaket jeans yang sudah lama sekali dia beli. Yaa, walaupun harganya dulu cukup mahal juga.

Tapi tetap saja, sangat kontras dengan pakaian Gama sekarang.

"Ngapain lo di sini?" Walaupun Gama berucap dengan nada sangat dingin. Tapi Garin bernapas lega, kakaknya masih mengenalnya ternyata. Garin cepat-cepat berdiri.

"Masuk," titah Gama, masih dengan suara dingin dan raut serupa.

Gama melangkah, membuka pintu apartementnya dengan kartu akses. Tanpa bicara, Garin mengikuti, masuk ke dalam sembari menarik koper besar yang dia bawa.

Bibirnya kelu, kepalanya penuh dengan ratusan kata yang harus dia rangkai untuk diucap pada sang kakak.

Gama tak langsung mengintrogasi. Pria dewasa itu masuk ke dalam sebuah kamar.

Selagi menunggu. Garin melihat-lihat. Apartement itu cukup luas, bersih, dan terlalu rapi untuk seukuran tempat tinggal seorang lelaki yang masih melajang. Ah, tak aneh, sih. Gama kan sejak dulu memang begitu, apa yang berkaitan dengannya harus selalu bersih, rapi, dan tertata. Tipe orang yang perfectionis, kadang terlalu perfectionis. Turunan dari sang ibu yang sayangnya tak ikut menurun pada Garin.

Garin terperanjat saat pintu kamar terbuka, padahal pintu itu terbuka tanpa mengeluarkan suara.

Gama keluar dengan setelan rumah, training hitam panjang dan tshirt pendek abu.

"Kenapa masih berdiri? Duduk!" kata Gama diucap dengan raut wajah dingin. Garin mengatupkan bibir, kemudian mendudukkan diri di sofa. Tali persaudaraan mereka mungkin sudah diputus, makanya Garin sekarang segan.

"Lo punya waktu lima belas menit. Gue mau istirahat. Dan ..." Gama melirik koper. "Di sini gak ada kamar kosong," lanjutnya datar, sangat datar, dengan tatap yang juga kelewat datar.

Suatu penolakan terang-terangan di awal, bahkan di saat Garin belum mengucapkan sepatah kata pun. Garin tidak tahu harus memulai dari mana, tatapan menusuk Gama membuatnya semakin merasa tak ada daya.

"Udah sukses lo sekarang?" Karena Garin tak kunjung bersuara. Gama memulai dengan nada sinis.

"Balik buat buktiin lo bisa jadi apa yang lo pengen, tanpa bantuan siapa-siapa?" Gama tersenyum miring, mengolok.

"Mana band lo yang katanya bakal sukses? Gue gak pernah denger." Gama seakan, ingin semakin memojokkan.

Telak. Garin makin dibuat terdiam. Band yang dulu jadi alasan utama dia memutuskan untuk pergi dari rumah.
Nyatanya sudah hancur sejak setahun pertama dia pergi.

"Atau koper itu isinya uang? Buat buktiin lo kaya sekarang? Tanpa harus ikut apa kata Mama?" Gama menatap dalam, runcing, dan tajam. Tatapan yang seakan ingin mencabik sampai ke jiwa Garin.

Bibir Garin makin terkatup rapat. Sadar akan sebesar apa kesalahan yang dia buat di masa lalu. Kata-kata yang terlalu sombong yang dia ucap kepada kakak dan ibunya, kini bak duri yang harus dia telan bulat-bulat.

"Sejak hari itu, lo bukan adik gue lagi. Bukan gue yang mutusin, tapi lo sendiri. Gak seharusnya lo muncul lagi. Jadi, silahkan lo pergi," tutur Gama runtut dan langsung pada intinya, karena Garin tak juga menyahut. Hanya menundukkan kepala yang membuat Gama merasa semakin muak melihatnya. Garin bukan anak yang sudi menundukkan kepala, kepalanya selalu tegak menantang siapa pun yang ada di hadapan.

Tanpa Gama sadari, Garin menahan air mata. Ya, dulu dia salah. Masa mudanya terlalu berapi-api. Dengan sombongnya dia memutuskan untuk pergi di usia yang baru menginjak 18 tahun. Saat itu ibunya meminta Garin untuk melanjutkan pendidikan agar setelah lulus bisa memegang salah satu bisnis keluarga. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari masa depannya. Semua sudah terjamin, warisan bisnis menjanjikan yang akan membawanya pada kesuksesan di masa muda. Tapi Garin menentang semua itu. Itu bukan jalannya. Dan tentu sang ibu tidak mengizinkan. Buat apa berjalan di jalan yang tak pasti.

Dan Garin adalah tipe orang yang semakin ditentang semakin meliar, akhirnya dia memutuskan untuk berteriak di depan sang ibu dengan sebuah koper di tangan. Berani berkoar, kelak akan kembali membawa kesuksesan tanpa harus mengikuti jalan yang telah dipastikan. Di hari itu, Garin meninggalkan zona nyaman dengan api membara di hati.

"Pergi." Suara Gama ada di volume rendah, tapi diucapkan dengan nada yang cukup menusuk. Tatapannya tak berubah. Entah dia sudah terlanjur benci melihat wajah itu, wajah yang berani berteriak di depan seorang wanita yang sangat dia muliakan.

Garin yang menahan napas, menelannya. Menghilangkan rasa sakit di kerongkongan. Dia bersalah. Jadi, tak boleh ada rengekan. Tahu diri.

Dan kesalahannya fatal. Memang tak seharusnya Garin menampakan diri kembali. Untuk meminta bantuan lagi, haha. Tak tahu malu sekali, Garin.

Garin mendongak lalu memaksakan diri untuk tersenyum. Walaupun sudah pasti Gama tak akan sudi untuk membalasnya.
Tatapan abangnya seperti menahan segala amarah, untuk bagian ini, masih sama seperti Gama yang dulu. Semarah-marahnya pada kenakalan Garin, dia selalu berusaha untuk menahannya.

"Maaf, Bang." Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Garin. Tenggorokannya benar-benar tercekat.
Garin bangkit. Mengayunkan kepala, sebagai isyarat pamit. Kemudian menatap Gama sekilas, memberikan senyum tipis yang terakhir.

Garin berbalik, meraih kopernya. Seiring kaki mengayun, dia menggigit bibir bawah. Air matanya menetes.

Gama masih di posisinya. Mempertahankan ekspresi datar. Menunggu Garin keluar dari apartement.
Bahkan dia tak sudi untuk sekadar melihat punggung adiknya yang meninggalkan ruangan.

... BRUKKK ...

Terdengar suara keras benda jatuh dari ambang pintu, disusul teriakan seseorang yang membuat Gama langsung bangkit.


--

EGO (Selesai) Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin