PART 20

5.6K 674 39
                                    

"Gi, menurut lo gue sakit itu ... anugerah atau kesialan?"

"Kalo lo gak sakit ... lo gak akan balik ke Jakarta. Gak akan baikkan sama abang lo sama nyokap lo. Trauma lo gak akan berkurang. Gue gak akan bisa nonjok Avo. Terus ... muke lo gak akan secerah sekarang." Hagi menyelesaikan kegiatan mengabsen ingatannya dengan mata menatap Garin yang beberapa menit lalu menghubungi lewat panggilan video dengan diawali senyuman lebar.

Senyum Garin melebar lagi. "Nah itu, pikiran lo sama, sama gue, Gi. Jadi gue bingung, ini sakit tuh anugerah atau kesialan?"

"Fifty-fifty deh keknya, Rin. Tapi yaudahlah, lagi diobatin. Yang penting lo udah balik lagi hidup sebagai seorang Garin."

Garin tersenyum. Yah. "Tapi, Gi, tar gue bisa gak ya, kalo lanjut sekolah lagi? Gue udah gak berasa punya otak, Gi. Udah jarang dipake. Bayanginnya aja gue udah pusing."

"Ya'elah, belom juga lo jabanin. Bisa-bisa. Tar gue bantu."

"Bantu apa lo?"

"Bantu do'a, hehe, palagi."

Garin mendecak. "Nanti gue mau kuliah di Bali. Tenang aja, Gi, gue balik lagi. Eh, lo juga dong. Lanjut sekolah, yuk, sama gue," ajak Garin dengan pandang berbinar. Berharap Hagi mau. Setidaknya dia pusing tidak sendiri.

Hagi mengedikan bahu. "Ogah! Mending gue kerja sambil liburan," sahutnya.

Garin menghela napas. "Gak bosen lu? Orang perginya ke situ-situ lagi."

"Lebih baik, daripada kepala gue pusing mikirin tugas."

"Ah, jadi dilema nih gue."

"Heh! Lo udah janji ma nyokap. Sekali lagi ngebangkang, lo jadi malin kundang season dua."

"Oh iya. Yaudahlah, gak jadi dilema."

Cklekk ... Garin menoleh. "Bang Gama. Udahan, ya," katanya lalu mematikan panggilan video. Di sebrang sana, Hagi pasti sedang melongo, berekspresi aneh. Emangnya kenapa kalau ada Gama. Kayak bocah SMP yang takut kepergok lagi VC-an sama gebetan aja.

"Kenapa?"

"Apa?" Gama menoleh dengan kening mengernyit.

Datang-datang kakaknya itu meluruhkan tubuh di sofa diiringi embusan napas panjang. Jadi Garin bertanya.

"Lagi ada masalah ya di kantor?" tanya Garin, menebak. Soalnya Gama masih memakai setelan jas, sepertinya belum sempat pulang ke apartement. Dia pasti langsung ke rumah sakit.

"Ya, udah biasa," sahut Gama dengan tangan memijit pangkal hidung.

"Udah biasa, tapi lo keliatan pusing banget."

Gama membuka matanya yang terpejam. "Nanti lo ngerasain," ucapnya.

Garin meneguk ludah. Seketika kembali dilema.

"Mending lo makan dulu, Bang. Pasti belum makan."

"Lo yang sakit, napa lo yang ngatur?!"

Garin menghela napas. "Emang lo gak akan kena sakit? Orang sakit juga tadinya sehat kali, Bang."

Gama menatap. Lalu menoleh ke arah overbed table yang ada di sisi ranjang.

"Lo gak makan?" tanyanya.

"Gue udah kenyang. Di rumah tadi makan banyak, dibeliin bakmi goreng sama Papa."

Gama beranjak. Menarik overbed table sampai melintang ke tengah ranjang. "Gue makan makanan lo," katanya sembari mendudukkan diri di ujung ranjang. Menaikkan kakinya, bersila, bersebrangan dengan Garin.

EGO (Selesai) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora