PART 30

6.6K 586 84
                                    

Gama memarkirkan mobil. Keluar dengan cepat. Melangkah lebar memasuki gedung menjulang itu. Rumah sakit belum terlalu ramai karena ini masih cukup pagi. Keluar dari lift, Gama berlari menuju ruang isolasi.

Para perawat yang ada di luar ruangan, meliriknya, lalu menunduk. Pintu ruangan Garin dibiarkan terbuka, tidak seperti biasanya. Gama melangkah masuk. Ada beberapa dokter dan perawat. Mereka semua menundukkan kepala saat kaki Gama mengayun masuk ke dalam.

"Kenapa?" tanya Gama, pada siapa pun yang bersedia menyahut.

"Maaf, Pak. Bakterinya menyebar cepat ke dalam darah. Pasien mengalami sepsis. Dari semalam demamnya tinggi, oksigen dalam darahnya menurun, denyut jantungnya naik, laju pernapasannya meningkat. Kami mengupayakan perawatan maksimal, tapi sepsisnya memburuk lebih cepat. Tadi pagi tekanan darahnya menurun drastis, dan semakin menurun, tidak merespon pada obat yang diberikan. Diagnosa sepsis berkembang menjadi syok septik. Kami terus mengupayakan tindakan penyelamatan. Tapi satu jam yang lalu, pasien mengalami henti jantung, kegagalan organ menjadi salah satu komplikasi terberat dari sepsis. Kami meminta maaf, Pak. Kami telah berusaha mencoba mengembalikannya. Kami meminta maaf. Kami turut berduka. Pasien dinyatakan meninggal, tepat pukul 06.15." Seorang dokter mendongak, menjelaskan dengan runtut, lalu kembali merundukkan kepala, memberikan penghormatan duka cita pada keluarga yang berduka.

Gama yang mematung, tak bisa sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan dokter. Dia mengalihkan pandang pada Garin yang terbaring tanpa alat-alat yang menempel di tubuhnya, kancing-kancing piyamanya terlepas, tak ada lagi nasal kanul atau masker oksigen yang membantunya bernapas, monitor di atas tempat tidurnya pun kini mati.

Deru napas Gama terdengar nyaring di ruang isolasi yang hening, jantungnya berdetak cepat sejak pihak rumah sakit meneleponnya. Gama tidak jadi pergi ke kantor, dia langsung melajukan mobil ke rumah sakit. Tapi dia pikir, Garin tidak seperti ini.

Kakinya melangkah, mendekati ranjang, berdiri di samping Garin, menatapnya lurus. "Rin, lo baik-baik aja, kan? ... Garin?"

Suara rendah Gama yang terdengar, membuat orang-orang di sana semakin menundukkan kepala dalam.

Gama memegang tangan Garin yang tertumpuk di perut. Menatap lekat matanya yang tertutup rapat. Mata adiknya itu... tidak akan terbuka kembali, kah? Benar, kah? Kenapa? Perjuangannya belum selesai, masih ada harapan.

-

Gama duduk di bangku panjang lorong yang sepi dengan handphone di telinga.

"Selamat pagi, Pak. Ad--"

"Dim, Garin ninggalin gue. Baru aja Garin ninggalin gue, Dim."

"Pak."

Gama mematikan telepon. Di ruangan tadi, dia tak menangis. Tapi sekarang, di lorong yang sepi ini, setelah mengadu pada Dimas ...

Gama hanya tak tahu ini nyata atau tidak. Dia terlalu percaya pada Garin.






EGO (Selesai) Where stories live. Discover now