PART 4

7.6K 766 88
                                    

Gama menggeliat, tidurnya nyenyak sekali. Malam tadi dia tertidur setelah meminum teh herbal yang membuatnya rileks kemudian mengantuk. Setelah merapikan tempat tidur. Gama keluar kamar untuk memulai rutinitasnya, sempat melirik Garin yang masih terpejam.

Selesai olahraga, sarapan, mandi, dan berpakaian rapi. Gama siap pergi ke kantor. Keluar kamar. Menghela napas, menghampiri Garin. Belum bangun juga dia.

"Pintu gue kunci. Lo gak usah keluar, kalo laper banyak makanan di kulkas,"
ucap Gama. Tidak peduli Garin mendengar atau tidak. Gama pergi.

--

"Pak, ruang meeting sudah siap."

Gama mengangguk. "Sebentar lagi saya ke sana. Eh, Dim ...."

"Iya, Pak?"

"Selesai meeting, saya mau pulang, ada urusan. Saya titip hari ini ke kamu, ya."

"Baik, Pak."

Gama mengambil beberapa berkas untuk meeting nya kali ini.

"Biar saya yang bawa, Pak."

"Gak usah. Ayok ke ruang meeting." Asistennya itu mengangguk sopan, mempersilahkan Gama melangkah duluan.

-

Selesai meeting pukul 11.00, masih terlalu pagi untuknya pulang, tapi Gama memutuskan untuk pulang lebih awal hari ini. Beralibi pada diri ...

Hari ini tidak terlalu banyak kendala di kantor. Waktu yang tepat untuk dia pulang siang, meluangkan waktu untuk membaca beberapa buku yang sudah lama dia beli dan belum sempat dia baca. Menyesap teh sembari membaca buku. Oh ... Good. Hanya dengan membayangkannya saja, Gama sudah merasakan ketenangan. Tidak sabar. Ayok kita pulang.

Alibi yang dia buat sendiri, untuk dirinya sendiri, untuk menepis alasan lain, yang sebenarnya, yang membuatnya memutuskan untuk pulang siang hari ini.
Alasan yang tak ingin Gama akui. Tapi langkah kaki tak bisa dibohongi. Terayun lebar dengan berusaha mengatur tempo normal agar tidak terkesan tergesa. Buat apa dia harus tergesa. Gama keluar dari lift, berbelok menuju pintu apartementnya.

"Garin." Gama mendesah kasar.
Begitu masuk ke dalam apartement dia langsung melangkah ke arah sofa. Jongkok menekuk satu lutut di hadapan sofa abu muda itu. Garin memejamkan mata dengan deru napas yang terdengar keras. Wajahnya sangat pucat, benar-benar pucat.

"Akh!" Gama menggeram kesal. Mengambil handphone di saku celana,
menghubungi asistennya. Selesai dengan itu. Gama melirik Garin. Entah apa yang sedang adiknya rasa, keringat terlihat jelas muncul di pelipis dan dahinya. Mungkin Garin demam. Gama tak ada niatan untuk mengecek suhu tubuhnya, dia beranjak untuk duduk di salah satu sofa, menunggu bantuan datang.

Beberapa lama menunggu, ketukkan pintu terdengar. Gama bangkit untuk membukakan pintu.

"Ada apa, Pak?" tanya Asitentnya, terlihat panik.

"Bantu angkat adik saya, dia sakit," titah Gama. Orang yang dia panggil adalah Dimas, satu-satunya asisten kepercayaannya dalam segala hal.

Lelaki yang tingginya setara dengan Gama itu mengangguk. "Mau dibawa ke rumah sakit, Pak?"

Gama mengangguk singkat. Dimas bergerak, membangunkan adik bosnya itu. Sebenarnya muncul pertanyaan di benaknya ... Bukannya adik bosnya masih kecil? Ah, mungkin ini adik sepupu.
Ya, sudahlah, tak baik juga penasaran dengan kehidupan orang.

Untung saja tubuh Dimas tinggi, dan berpostur tubuh bagus, berusaha membuat adik bosnya berada digendongan punggung sendirian,
jadi tidak begitu sulit, karena si bos malah acuh tidak membantu sama sekali.

EGO (Selesai) Where stories live. Discover now