PART 6

7.3K 716 44
                                    


Dua hari di rumah sakit umum, Garin kembali mendapat transfusi darah dan trombosit. Sudah menjadi hal biasa pada penderita leukemia, akan menurunnya kadar hemoglobin dan trombosit yang sangat drastis. Dokter memberikan rujukkan agar Garin dipindahkan ke rumah sakit khusus. Setelah berbicara beberapa lama dengan dokter, Gama menyetujui usulan itu.

Dibantu seorang perawat, Garin beranjak dari kursi roda, masuk ke dalam mobil. Gama berjalan di belakang dengan tas ransel Garin di bahunya, dan beberapa berkas yang dokter beri di tangannya. Gama tersenyum, mengucap terimakasih pada perawat laki-laki itu.

Seorang supir kantor menjemput mereka. Gama sibuk dengan handphone.
Garin menyandarkan kepala melihat jalanan.

Hhhhhh ... Menghela napas. Dia akan segera melakukan pengobatan. Tubuhnya akan lebih sering disuntik, dan lambat laun rupanya akan berubah menjadi persis seperti orang pesakitan.

"Lo ditemenin Dimas, gue ada urusan." Gama bersuara. Garin tak menoleh, tapi dia mendengar kok.

Gama menemani sampai Garin masuk ruang rawat, setelah itu dia pergi. Tak lama Dimas datang.

"Saya kaget. Ternyata kamu sakit kanker," katanya, begitu melihat Garin yang terbaring di rumah sakit khusus itu. Garin hanya tersenyum.

"Jangan takut, saya punya saudara yang survive dari kanker. Walaupun memang prosesnya gak mudah dan sakit, saya yakin kamu juga bisa survive."

"Aku gak takut, cuma deg-degan aja, kayaknya bakal serem." Garin meringis, membayangkan perjuangan para penderita kanker yang pernah dia lihat-lihat di sosial media.

Dimas terkekeh. "Gak semenyeramkan yang kamu pikir kok," katanya, selalu bisa menenangkan Garin. Obrolan mereka berlanjut sampai Garin terlihat mengantuk lalu tertidur di saat Dimas masih bercerita.

Dimas tersenyum melihat adik bosnya itu tak lagi menyahuti celotehannya. Dengan perlahan Dimas menarik naik selimut yang menutupi setengah badan Garin. Entah, dia baru mengenalnya, tapi sangat berharap anak itu bisa kembali sehat.

🍁

Di rumah sakit ini, Garin kembali melalui serangkaian pemeriksaan. Walaupun sudah ada hasil dari rumah sakit sebelumnya, tapi dokter yang menanganinya di sini bersikeras ingin melakukan pemeriksaan lagi. Termasuk BMP, baru dua kali, Garin sudah malas mendengar kata itu.

Saat melakukan prosedur kali ini, Gama ada menemani. Garin ditangani satu dokter yang akan melakukan BMP, dan seorang perawat wanita yang akan membantu menahan tangan dan kakinya agar tidak bergerak. BMP itu lumayan sakit, akan terasa ngilu saat dokter mencoba memasukan jarum berlubang seukuran ujung pulpen untuk Menembus tulangnya.

Garin menggigit bibir, terkekeh, dan mendesis, menahan nyeri saat dokter mulai menekan-nekan agar jarum yang berukuran cukup besar itu mencapai posisi yang diinginkan. Perawat menahan kakinya dengan kuat, agar tidak bergerak.

"Akkhhh!"

"Sakit?" tanya dokter. Garin hanya terkekeh, merundukkan kepala, menahan nyerinya dengan tubuh melungker.

"Tarik napas dalam." Berkali-kali Dokter mengintruksikan itu. Garin menarik napas dengan mata terpejam.

Andai Garin tahu, Gama yang menonton, berdiri tak jauh dari samping ranjang, sejak tadi refleks menahan napas.

Setelah selesai, dokter menelentangkan posisi berbaring Garin, dan menyuruhnya untuk tidak bergerak beberapa saat.

Dokter itu berbicara sebentar dengan Gama, kemudian pergi.

"Kapan kemonya?" tanya Garin pada Gama yang mendekat.

"Nunggu hasil BMP keluar, baru kita ngomongin kemo," Gama menyahut.

EGO (Selesai) Where stories live. Discover now