PART 3

6.8K 742 61
                                    


Rutinitas pagi seorang Gama.

Bangun di waktu matahari baru terbit, olahraga ringan dengan treadmill  yang ada di balkon, tapi kalo weekend biasanya dia pergi ngegym. Sarapan simple dengan roti, dan segelas susu tinggi protein. Mandi, lalu bersiap pergi bekerja. Walaupun posisinya sebagai bos, tapi Gama selalu datang tepat waktu. Dan dia benci orang yang suka berleha-leha, bermalas-malasan.

Garin ... selalu saja. Kebiasaan buruknya dari dulu. Matahari sudah terbit, anak itu masih tertidur.

Gama mendecak. Dengan terpaksa, memegang bahu adiknya, mengguncang kasar.

Tak disangka Garin langsung membuka mata, bahkan tak perlu Gama guncang sebenarnya, saat Gama baru menyentuh pundaknya pun, dia sudah terperanjat membuka mata.

"Bangun! Di tempat gue, gak ada yang pas matahari terbit masih ileran," ucap Gama.

Garin terdengar mengembuskan napas panjang, kemudian matanya kembali tertutup.

"Ck." Gama mendecak, tidak ada yang berubah memang dari adiknya itu, dari dulu yang paling susah adalah membangunkannya. Menyesal Gama tadi sempat takjub melihat Garin sudah bisa bangun hanya karena sekali sentuhan, nyatanya masih sama saja. Gama menarik kasar selimut, yang dengan sigap langsung ditahan si pemakai.

"Apaan sih, Gi. Gue masih ngantuk." Mata Garin masih terpejam. Ngelindur apa gimana, padahal tadi dia sempat membuka mata, dan melirik Gama dengan pandangan lega. Benar-benar Garin ini.

"Garin!!!" Gama menyentak, menarik lebih kasar selimut sampai terlepas dari tubuh yang terbungkus itu.

Mata Garin terbuka lebar. Tubuhnya otomatis terangkat, celingukan. Lupa, sekarang dia ada di Jakarta, dan di hadapannya adalah Gama, bukan Hagi, teman satu rumahnya di Bali.

"Ah, maaf, Bang." Kemudian Garin langsung menegakkan duduk, mengucek mata yang sebenarnya masih berat untuk terbuka.

"Mandi sana lo! Gimana mau sehat pagi-pagi masih molor," Gama mendumel murka, tampak sangat kesal padahal kejadian sepele.

Dengan terpaksa Garin bangkit, melipat selimut dengan serapi mungkin, lalu beranjak.

Gama melirik AC. Benda itu menyala dengan baik, sejuknya terasa di kulitnya, tapi Garin tampak berkeringat banyak.

Sebelum memulai rutinitas pertamanya di pagi ini, Garin mematut diri terlebih dulu di depan cermin wastafel. Kantung matanya mulai menghitam karena beberapa hari belakangan tidurnya terganggu, kepalanya sedikit pusing, dan badannya pegal-pegal, mungkin karena tidur di sofa atau memang seperti inilah tubuhnya sekarang. Garin mengenyahkan semua pikiran negatif. Menyalakan keran air lalu membasuh muka.

"Mau ke mana lo?" Gama bertanya. Sejak tadi dia memperhatikan gerak-gerik Garin yang selesai mandi. Keluar dari toilet dengan pakaian lengkap, lalu menghampiri sofa, membuka ransel, mengambil parfum, menyemprotkan ke pakaiannya, kemudian menyampirkan ransel di bahu. Seperti bersiap untuk pergi.

"Mau keluar, lo juga mau keluar, kan?"

Ya iya, Gama mau ke kantor. Gama tak menyahut. Meneguk air putih lalu beranjak dari meja makan, mengambil kunci mobilnya. Dia lirik Garin sekilas,
ingin bertanya, apa tak sarapan dulu?
Tapi urung, terserah dia lah mau sarapan atau tidak, lagian kalau tidak pun bukan salah Gama juga, di meja makan sudah tersaji roti dan selainya.

Garin melangkah duluan sementara, Gama menutup pintu terlebih dulu. Mereka naik lift bersama. Gama berdiri tegak di depan, dan Garin di belakang,
bersandar pada dinding lift. Lift terbuka, mereka berjalan keluar seolah bukan saudara. Berjalan terpisah tanpa kata.

EGO (Selesai) Where stories live. Discover now