PART 14

6.6K 656 77
                                    

"Lo kenapa?" Gama bertanya. Setelah Dimas yang hanya berkunjung sebentar, baru saja pulang.

"Nggak kenapa-napa," sahut Garin diakhiri senyum tipis untuk meyakinkan.

Tak usah dengan kata-kata, tatapan Gama sudah cukup memojokkan.

"Ngga--"

"Jangan bohong sama gue, senyum lo beda kalo lagi ada sesuatu, mata lo juga sembab, kenapa?" tanya Gama sekali lagi, memotong kata penyangkalan yang akan Garin ucap, tatapannya tajam meminta kejujuran.

Garin menunduk, dia memang bukan orang yang pintar menyembunyikan luka terutama di hadapan Gama, hanya dengan melihat caranya tersenyum, Gama sudah bisa menebak.

"Mama tadi dateng. Gue jadi ngerasa bersalah, Bang. Harusnya gue gak pulang. Pulang cuma buat bikin lo repot, bikin mama tambah kecewa."

Gama mematung, bukan karena kata-kata Garin. Tapi, bagaimana bisa mamanya tahu Garin ada di sini? Mengesampingkan dulu pertanyaan itu, Gama menatap Garin lurus.

"Lo emang harusnya gak pulang. Tapi lo udah terlanjur pulang, itu berarti lo harus tanggung jawab, sama repotnya gue, kecewanya mama. Lo harus sembuh, terus ikutin apa kata mama. Mikirin rasa bersalah doang gak akan berguna," kata Gama.

Garin masih menunduk, dia mengangguk. Dalam hati berjanji, jika diizinkan untuk punya kehidupan lebih panjang, dia tidak akan lagi membantah apa pun yang telah dipilihkan mama untuknya.

--

Garin terperanjat bangun saat suara pintu terbuka. Sudah pagi. Duduknya langsung menegak begitu melihat siapa yang membuka pintu, mama berjalan lurus ke arahnya, menyimpan barang bawaan ke atas nakas, lalu sibuk membukanya.

"Cuci muka dulu, Mama siapin sarapan."

Garin tertegun mendengar perintah mama, walaupun diucap dengan nada datar, tapi Garin sangat merindukan titahan itu. Garin turun dari ranjang, melangkah menuju toilet, tersenyum tipis sembari menggigit bibir.

Garin kembali dengan langkah canggung, dia duduk di tepian ranjang.
Mama memberikan segelas susu padanya, Garin menerimanya, lalu mama nampak sibuk kembali menyiapkan sarapan yang sepertinya dia bawa dari rumah. Susu sebangun tidur adalah kebiasaan rutin saat Garin kecil sampai usia dia beranjak dewasa. Mama tidak menyiapkannya susu lagi karena Garin menolak, sudah merasa cukup dewasa dan tidak membutuhkan perlakuan itu lagi, kala itu.

Mama duduk di kursi dengan mangkuk bulat-tutup dari termos kecil, tempat bekal khusus sup. Meniup lembut kuah yang mengepul di sendok, lalu menyodorkan ke mulut Garin tanpa bicara. Garin menahan tangis saat rasa sup udang terkecap di lidahnya. Siapa pun yang sakit di rumah, Mama selalu membuatkan sup udang. Hangat, enak, dan berprotein tinggi, kata Mama bagus untuk tubuh.

Mata Mama tak menatap Garin, hanya sekilas saat menyuapkan sup, lalu akan berpaling fokus pada wadah di tangannya.

"Apa rumah sakit gak kasih kamu makan? Sampe kurus begini. Perawatnya juga kayaknya gak becus rawat orang sakit," omel Mama sembari sibuk memotong udang yang sebenarnya sudah dipotong kecil-kecil itu.

"Anak makan lahap gini kok bisa sampe kurus. Nanti Mama protes pihak rumah sakitnya." Mamanya mendongak, memberikan suapan kesekian pada Garin, dengan bibirnya yang kemudian terkatup rapat. Pintu terbuka, Gama datang. Kaget saat melihat Mama yang ada di ruangan. Sampai saat ini Gama belum bicara apa-apa tentang Garin pada mamanya.

"Gama, kenapa kamu masukkin adek kamu ke rumah sakit ini? Liat, di sini gak pada bener kerjanya, adek kamu jadi kurus pucet gini. Cari rumah sakit yang lebih bagus, gimana sih kamu!"

Garin sudah menunduk dan mengeluarkan air mata, tidak bisa lagi menahan tangis. Gama mendekat, meletakkan mangkuk di tangan Mama, menarik pelan wanita itu sampai berdiri. Lalu merangkulnya masuk ke dalam pelukan, membiarkan Mama mengeluarkan tangis yang ditahannya, di dada bidang Gama.

EGO (Selesai) Where stories live. Discover now