PART 7

6.4K 658 61
                                    

Ternyata rontok rambut karena efek kemoterapi itu, bukan mitos.

Garin baru melaluinya sekarang.
Saat bangun tidur dia melihat banyak sekali rambutnya di bantal, dari kemarin Garin memang sudah mulai rontok tapi tidak terlalu banyak, dan hari ini, Garin sampai takjub. Dia beneran akan jadi botak ternyata. Seumur hidup tak pernah merasakan tak punya rambut, saat bayi jangan dihitung karena Garin belum bisa merasakan gimana rasanya saat itu.

Tok... Tok...

Seseorang mengetuk pintu, sebelum masuk. Gama, perawat, dan dokter tidak pernah mengetuk pintu dulu. Garin mengangkat kepala dari bantal, siapa?

Ah ... Dimas ternyata. Garin tersenyum.

"Apa kabar?" tanya Dimas. Memasuki ruang rawat dengan pakaian santai, tidak berjas seperti biasanya, karena ini hari minggu.

"Baik," sahut Garin sembari bergerak duduk.

"Maaf ya, saya baru sempat jenguk," ucap Dimas.

"Gak pa-pa kok, Bang. " Garin tersenyum, tidak masalah untuknya.

"Udah mulai rontok?"

Garin melihat ke bantalnya, yang menjadi arah pandang Dimas. Selalu ada ribuan helai rambutnya yang tertinggal di sana.

"Iya nih. " Garin terkekeh. Ngeri juga kadang melihatnya. Rambut Garin yang lebat menipis hanya dalam kurun waktu beberapa hari.

"Ini, saya beli beberapa beanie buat kamu, coba diliat, suka gak, kalo gak suka, nanti saya belikan lagi yang kamu suka. "

Garin menerima kantong yang diberikan Dimas, melihat isinya. Beberapa beanie berbahan halus dengan warna yang berbeda-beda.

Senyum Garin terbit."Makasih, Bang," ucapnya. Seketika merasa gembira, ini yang dia butuhkan. Garin mengambil satu beanie yang berwarna putih tulang, mencoba memakainya. Mengambil handphone di sisi tubuhnya lalu berkaca pada benda itu.

"Cakep," kata Garin, tersenyum penuh, melirik Dimas.

Dimas terkekeh. "Bagus kalo kamu suka, nanti kalo kamu mau lagi ngomong aja, saya belikan yang lebih stylish. Itu pilihan istri saya katanya lucu buat kamu."

"Gak usah, segini aja udah banyak. Makasih banget, Bang, bilang makasih juga ke Mbak Nira," kata Garin dengan senyum lebarnya.

Dimas mengangguk. "Dia pasti seneng liat kamu suka pilihannya. Oh, ya, mau makan di luar gak? Sekalian kamu hirup udara segar, udah lama gak keluar kamar, kan?" ajak Dimas, ajakan yang menggiurkan.

"Bo-leh?" Mata Garin langsung melebar, tampak antusias, tapi berusaha menahannya. Bertanya dulu seakan meminta izin, padahalkan Dimas yang menawarkan.

Dimas mengangguk. "Ya, boleh. Saya udah izin ke dokter, dokter malah nyuruh saya buat bawa kamu refreshing. Asal pake masker katanya. "

Senyum Garin tambah melebar, wajahnya berseri. "Aku ganti baju dulu kalo gitu," ucapnya. Langsung menurunkan kaki dari ranjang, kebetulan Garin sudah tidak tersambung dengan jarum infus.

-

Dimas membawa Garin makan di restoran yang tak jauh dari rumah sakit. Restoran yang tidak terlalu ramai. Sengaja Dimas bawa ke tempat yang lebih ekslusif. Walaupun makanan di sini mahal tapi setidaknya aman untuk Garin, tidak terlalu bertemu dengan banyak orang yang mungkin akan menempelkan penyakit padanya yang sedang mempunyai imun tubuh lemah.

Garin makan dengan lahap, Dimas sengaja memesan banyak makanan enak.
Pengalaman mempunyai kerabat seorang penderita kanker, tak ada salahnya memberikan reward pada mereka atas perjuangannya dalam melewati terapi yang pastii ... jujur tidak jujur telah meruntuhkan mentalnya juga.

EGO (Selesai) Where stories live. Discover now