PART 2

7.8K 806 96
                                    

Gama kembali ke Apartement dengan langkah lebar. Tak sabar ingin menggeledah barang yang dibawa adiknya, yang tadi ditinggalkan begitu saja di depan pintu apartement.

Tas ransel hitam dan koper abu. Gama tidak peduli dengan kopernya, sudah bisa dipastikan isinya hanya barang-barang pribadi Garin. Gama meraih tas ransel hitam, mengacak-acak barang yang ada di dalamnya. Charger, power bank, sebuah airpods, parfum, sekantong permen pelega tenggorokan, dan pouch hitam berukuran sedang.

Gama mengambilnya, menarik resleting pouch, di dalamnya ada beberapa botol obat, sekitar 4 botol. Belum lagi obat yang ada dalam kantong kecil. Gama menutup pouch itu kembali. Beralih membuka resleting kantong ransel yang ada di depan, mencari bukti lain. Dia semakin yakin dengan perkiraannya. Alasan Garin menemuinya. Tepat. Lembaran kertas dalam amplop besar yang dilipat ditemukan di sana. Beberapa lembar hasil pemeriksaan kesehatan dari rumah sakit. Atas nama Garindra Bimo. Lab, BMP, dan lain-lain. Di salah satu kertas itu, terdapat kesimpulan bertuliskan ... Acute Myeloid Leukemia.

Gama mengembuskan napas kasar. Menemukannya. Brengsek sekali. Apa maksud Garin menemuinya membawa semua ini? Apa dokter sudah memvonis usianya tak akan lama lagi? Dan karena itu, dia ingin di saat terakhirnya menghabiskan waktu bersama keluarga? Atau Garin ingin mendapat maaf sebelum mati? Atau dia ingin Gama membiayai pengobatannya? Cih, persetan!

Gama memperkuat katupan rahang, memasukkan kembali kertas itu ke dalam tas, kemudian bangkit membuka pintu apartement. Menjinjing tas ransel,
dan menarik masuk koper abu milik Garin. Menghempaskan keduanya dengan kasar ke dekat sofa.

--

"Gue kira lo udah kabur." Gama memasuki ruang rawat adiknya. Sehari penuh kemarin dia sibuk, tak kembali lagi ke rumah sakit setelah meninggalkan Garin yang belum sadarkan diri di UGD di hari sebelumnya. Gama baru menginjakan kaki kembali di sini, di sore hari ini, karena administrasi rumah sakit yang harus diurus.

Garin yang tengah terbaring tersenyum simpul. "Mana kuat," sahutnya pelan diiringi kekehan. Terlihat miris. Lemah.
Entah, sekarang Gama begitu benci melihat senyum itu.

"Lo udah gak benci gue?" tanya Garin.

Gama menoleh datar. "Makin benci," berucap dengan nada yang tak terdengar ada becandaan sedikit pun. Dari nada bicaranya diawal saja, harusnya Garin tak usah mempertanyakan lagi. Garin tersenyum. Lagi ... membuat Gama mendecih.

"Kenapa sekarang sering senyum, mau mati?" tanyanya, sinis.

Garin menipiskan senyuman, mengayunkan kepala perlahan.

"Iya, kayaknya," menyahut, diakhiri senyuman samar.

"Gue leukemia," ucap Garin pelan, kepalanya menunduk. Tampak ragu untuk mengucapkannya.

"Iya, gue tahu," Gama menyahut datar.

Garin mencoba bangun dari posisi tidur dengan sedikit kesulitan. Tulang belakangnya serasa ngilu, dan badannya nyeri di mana-mana. Gama hanya memperhatikan, tanpa ada niatan sedikit pun untuk membantu.

"Lo gak kasih tahu Mama, kan?" tanya Garin setelah berhasil mendudukkan diri, kemudian kepalanya menggeleng.

"Bukan soal gue sakit. Tapi ... soal gue balik. Lo gak kasih tahu Mama kan gue balik?" tanyanya ulang dengan lebih jelas.

"Mama gak tahu," sahut Gama tanpa ekspresi.

Garin mengembuskan napas lega. "Jangan kasih tahu Mama, Bang, soal gue. Sebelum gue sembuh. Gue janji setelah sembuh, gue bakal nemuin Mama, sujud di kaki Mama buat minta maaf, dan setelah itu gue janji mau lakuin apa pun yang Mama mau. Jadi anak baik Mama. Izinin gue memperbaiki semuanya, Bang. Gue nyesel, gue minta maaf." Garin berucap sungguh-sungguh sembari menatap Gama penuh penyesalan.

EGO (Selesai) Where stories live. Discover now