PART 30 II

7.4K 587 45
                                    

Setelah mengantar Theo sampai lobi sekolah, Mama melangkah keluar gerbang, tujuan selanjutnya, tentu rumah sakit.

Handphonenya berbunyi, Gama menelepon.

"Iya, Gam, kenapa? Mama baru mau ke rumah sakit. Kamu mau ke kantor dulu, kan?"

"..."

Raut wajah Mama langsung menurun, handphonenya ikut menurun, tergenggam tanpa tenaga. Kakinya melangkah terasa melayang, mengayun menuju mobil di pinggir gerbang sekolah. Setelah masuk ke dalam mobil, Mama hanya duduk di balik kemudi dengan pandangan lurus ke depan, tak berniat untuk melajukan.

Sup yang dia bawa dalam wadah, yang kini tersimpan di kursi samping, akan mendingin jika dia tak segera melajukan mobil.

--

Setelah pemakaman di esok harinya. Gama dan Papa dalam satu mobil, menjemput Theo di sekolah, sepulang dari pemakaman.

Papa menjemput Theo, masuk ke dalam gerbang sekolah, sementara Gama menunggu di mobil. Gama melihat adik kecilnya itu melangkah riang, keluar dari gerbang sembari menggenggam tangan Papa

"Mm?" Mata Theo melebar begitu masuk ke dalam mobil. Dia melirik Gama lalu melirik papanya.

"Papa sama Abang sama-sama pake kemeja item. Ada yang meninggal, ya?" tanyanya. Karena saat ada kerabatnya yang meninggal, mereka satu keluarga akan datang, memakai pakaian berwarna hitam.

"Mm." Papa mengangguk. "Adek, sebelum ke rumah mau jajan dulu, gak?" tawar Papa dengan raut wajahnya yang dibuat riang.

Theo mengangguk. "Mau boba ya, Pa," sahutnya senang.

"Iya, apa pun yang Adek mau, ayok beli. Tadi Adek belajar apa aja?"

Theo lalu berceloteh, menceritakan dengan semangat tentang kegiatannya di sekolah tadi.

Gama melajukan mobil tanpa suara. Pemakaman Garin dilakukan secara tertutup, hanya ada petugas pemakaman, beberapa kerabat dekat, Papa, Gama, Dimas dan keluarganya, Hagi dan keluarganya, Anka, Nobi, dan ada Avo juga yang datang beserta keluarganya.

-

"MAMAAAA!!!!" Theo memanggil nyaring sembari memasuki rumah.

"Mama pasti lagi tidur. Adek ganti baju sama Papa, yuk."

Theo mengangguk, melangkah, menaiki tangga menuju kamarnya. Gama mengikuti di belakang. Papa dan Theo memasuki kamar Theo, sementara Gama masuk ke dalam kamar Mama yang tak dikunci.

Mama sedang duduk di tepi ranjang, menatap lurus ke depan.

"Ma." Gama duduk di sampingnya. Menarik tubuh mamanya itu ke dalam pelukan.

"Kalo Mama udah siap ketemu Garin, nanti Gama anter."

Mama menggeleng. "Garin sembuh, Gam. Dia berhasil, dia pergi ke Bali, hidup bahagia di sana kayak beberapa tahun lalu. Gak pa-pa, Garin gak nemuin Mama lagi. Mama bebasin Garin. Dia udah cukup dewasa buat milih jalan hidupnya sendiri."

Gama mengeratkan pelukan. Mama mulai terisak di bahunya. Dari awal, mamanya menyangkal.

"Gam, kalo dulu Mama bolehin Garin jadi musisi. Apa Garin gak akan kayak gini?" Lalu pertanyaan itu muncul disela isakkannya yang menyakitkan.

Di balik punggung Mama, Gama menatap datar ke depan. Matanya berlapis air. "Kematian seseorang itu takdir, Ma, termasuk penyebabnya."

Isakkan Mama mengeras. Gama mengeratkan pelukan.

"Mama harus temuin Garin."

Mama kembali menggeleng. "Adek kamu pulang ke Bali, Gam."

-

"Ma, Garin sayang Mama."

Mata yang semula terpejam itu terbuka kembali. Mama belum benar-benar bermimpi, bisa dipastikan. Dan suara itu, terdengar sangat jelas.

Mama bangun, terduduk, melirik Papa yang tertidur lelap. Lalu dengan pelan, beringsut turun dari ranjang, melangkah lurus ke arah pintu, membukanya pelan.

Langkahnya berbelok, menyusuri lorong pendek, sampai pada sebuah pintu. Dibukanya pintu itu, menutupnya pelan, kemudian melangkah, duduk di tepi ranjang.

Perlahan, Mama membuka laci ranjang. Mengambil salah satu bingkai foto dari beberapa yang tertumpuk. Mama itu terbiasa mengabadikan pertumbuhan buah hatinya dari kecil sampai besar, dibentuk dalam kolase-kolase kecil di satu bingkai. Dari waktu bayiknya terlahir sampai berusia 17 tahun, usia pelepasan seorang anak dari genggaman orang tua. Gama dan Garin sudah punya bingkai kolase foto itu.

Dan yang Mama ambil dari laci, adalah milik Garin, bayik manjanya.

Mama memeluk bingkai itu dan mulai menangis lagi.

"Mama juga sayang Abang Garin."





--

🌹

EGO (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang