PART 29

6K 592 18
                                    

Sudah dua hari Garin di ruang isolasi. Gama membicarakan perihal pengobatannya dengan dokter; pil immunoterapi tetap diberikan dan kemoterapi tetap dilakukan, mereka hanya mengganti antibiotik untuk mengatasi pneumonianya.

Gama selalu berada di ruang tunggu, melihat Garin dari balik kaca, dan mereka berkomunikasi lewat perawat.

--

Seperti biasa, Mama datang di pagi hari, membawakan sarapan untuk Garin. Gama masih ada di apartemennya.

Semenjak Garin di ruang isolasi, Gama selalu pulang, tidak menginap di rumah sakit. Pulang di waktu malam dan akan kembali di pagi hari atau siang, setelah dia pergi ke kantor sebentar.

Mama menunggu Garin sarapan, seorang perawat sedang menyuapinya. Garin juga tak lepas pandang dari Mama yang berdiri di balik kaca.

"Ma." Gama baru datang.

"Gam, kata dokter belum bisa keluar dari ruang isolasi, paru-parunya masih meradang, bakterinya belum ilang."

Gama mengangguk, lalu memandang Garin. Anak itu sedang makan, sesekali tampak terbatuk. Dan tatapnya tak lepas, mengarah pada kaca.

-

Gama duduk di kafetaria, menyantap makan siang dengan terpaksa.

"Iya, Gi ... Garin masih di ruang isolasi. Kalo udah baikkan, nanti dia ke ruang rawat lagi ... iya, lo do'ain aja."

Handphonenya diletakkan kembali ke atas meja. Hagi terus menelepon. Dalam sehari, ada dua kali dia telepon, menanyakan kabar Garin. Teman Garin itu akan ke Jakarta lusa nanti, untuk menghadiri wisuda adiknya sekalian menengok Garin.

"Pak Gama."

Gama mendongak. "Duduk, Dim."

Dimas tersenyum, duduk di sebrang Gama.

"Gimana?"

"Saya bawa beberapa berkas yang perlu persujuan dari Pak Gama. Tapi Pak Gama makan dulu aja."

"Udah beres kok. Mana berkasnya."

Dimas mengeluarkan beberapa map berisi berkas-berkas dari tas yang dia bawa. Gama membacanya sedikit lalu memberikan tanda tangannya.

"Garin gimana keadaannya, Pak?" tanya Dimas.

"Masih di ruang isolasi."

"Boleh saya liat, Pak?"

Gama mengangguk. "Cuma dibolehin liat di ruang tunggu. Tapi tadi, Garin lagi tidur. Gimana kalau kamu temenin saya ngopi dulu? Sambil nunggu Garin bangun."

"Dengan senang hati, Pak." Dimas tersenyum. "Biar saya yang pesan. Pak Gama mau apa?"

"Biar saya aja." Gama beranjak. Dia sudah hapal, apa yang sering Dimas minum.

Setelah minuman sudah ada di atas meja. Gama melamun.

"Dim, kalau gak di kantor, gak usah formal. Usia kita sebaya, panggil Gama aja," Gama bersuara setelah beberapa detik menghening.

"Udah kebiasaan, Pak. Aneh rasanya kalo manggil nama doang."

Gama terkekeh. "Keluarga kamu itu emang sesopan itu, ya." katanya, jadi teringat adik Dimas yang sekarang sedang menempuh pendidikan di luar negeri, anak itu seusia dengan Garin dan mempunyai sifat yang terlampau sopan.

"Dim, saudara kamu yang kanker itu. Akhirnya sembuh karena kemo?"

Dimas mengangguk. "Dibantu sama obat alternatif. Kita gak selalu mengandalkan obat rumah sakit karena itu cukup mahal. Kita bantu pake herbal yang lebih terjangkau. Sama kayak Garin, pengobatannya juga dilalui jatuh bangun, Pak."

"Mm, apa Garin saya coba dibantu alternatif juga, ya?"

"Lebih baik Pak Gama konsultasi dulu ke dokternya."

Gama mengangguk. "Mm, ya."

"Kombinasi kemo sama immunoterapinya gimana, Pak?"

"Lancar kok, Dim. Tubuh Garin merespon dengan baik. Tinggal satu mingguan lagi. Kemonya dua kali lagi, mungkin dosis ketiga nanti dikasih lusa atau besok. Tapi tubuhnya udah gak merespon sama antibiotik, bakteri di paru-parunya makin kuat."

"Sabar, Pak. Nanti kalau udah waktunya Garin sembuh, pasti sembuh."

"Iya, makasih, Dim."

-

Setelah mengobrol beberapa lama, Dimas mengikuti Gama, melihat Garin. Kebetulan Garin sudah bangun, dia menatap dan melambaikan tangan lemah.

Dimas pulang di sore hari dan Gama pulang di malam hari.

"Sus, saya pulang dulu. Bilang ke Garin, besok saya ke sini agak siang. Mama kayak biasa, pagi."

Perawat itu mengangguk dengan senyuman. Gama pamit pulang setelah memastikan Garin sudah tertidur, selalu seperti itu setiap harinya, selama tiga hari ini.



--

🌹

EGO (Selesai) Onde histórias criam vida. Descubra agora