PART 15

6.9K 707 66
                                    

Garin menatap gitar yang disimpan di pojok ruangan. Gitar kesayangannya dulu, dibawakan Avo kemarin, gitar itu tertinggal di studio rumah Avo, lima tahun berlalu ternyata masih ada. Dan di tangannya, Garin menggenggam sebuah pik gitar, pik itu berpasangan dengan punya Avo, di tengahnya ada pahatan huruf G dan A.

"Hhhhhh ... Besok gue balik. Lo cepet sembuh deh, Rin. Kesepian gue di sana sendiri," celoteh Hagi yang berbaring di ranjang Garin. Sepertinya ada bagusnya Avo datang dan meminta maaf, Garin jadi tidak sesensitif biasanya, dia tidak risih saat berbagi ranjang begini. Biasanya nempel dikit saja, Hagi langsung ditendang.

Hagi melirik Garin. "Lo lagi mikirin apaan? Avo?" tanyanya, melihat arah pandang Garin sejak tadi-gitarnya yang ada di pojokkan.

"Nobi sama Raja, sekarang di mana ya, Gi? Anka sama Kiki juga, apa kabar mereka?"

"Lo mau ketemu mereka?" tanya Hagi.

Garin menggeleng. "Nanya aja."

"Yang gue denger, Nobi jadi kru pesawat, Raja gabung sama band lain, Anka di Bank, Kiki di luar negeri, perhotelan gitu."

"Lo sama gue, tourguide," sambung Garin, melirik Hagi, kemudian terkekeh. "Raja doang yang bertahan. Ya, pada akhirnya impian masa sekolah ... cuma impian."

"Mau lo kejar lagi?" tanya Hagi.

Garin menggeleng. "Kagaklah, kan mau tobat, gak durhaka lagi sama orang tua," sahutnya.

Hagi menarik naik tubuhnya, melirik Garin. "Eh, Rin, ngomong-ngomong nyokap lo keren juga, langsung dilacak tuh si Avo, digampar kanan-kiri lagi. Padahal ya gamparnya jan pake tangan, pake sendal terapi yang ada durinya. Keenakkan banget dia digampar cuma pake tangan. Lo sih, Rin, gue pake ditahan segala, biar gue mampusin dulu tuh orang," ucap Hagi menggebu, masih punya nafsu emosi sama si Avo.

"Dahlah, dunia bisa bales dendam sendiri. Lo contoh aja gue, durhaka sama orang tua, gak dibales sama nyokap. Eh, akhirnya dapet karma sendiri."

Hagi tak menyahut. Tiba-tiba Garin menoleh, menatapnya.

"Paan?" tanya Hagi, karena tatapan Garin tampak mengintimidasi.

"Lo yang cerita ke Bang Gama tentang gue?"

Alis Hagi mengkerut. "Yaiyalah, siapa lagi, baru ngeuh? Ke mana aja lo?!" katanya sewot.

"Ah, pantes Bang Gama jadi baik, kasian dia sama gue."

Hagi mendecak. "Sayang, Goblok! Bukan kasian. Bang Gama sampe tonjok tuh si Avo, kapan coba abang lo pernah nonjok orang? Pasti perdana tuh, mana sampe biru. Mantep juga tonjokannya."

"Seperti kata pepatah, Gi. Marahnya orang diem itu jangan disepelein, serem pokoknya. Gue juga gak akan mau lagi bikin dia marah."

Hagi mengangguk. "Mukanya cakep, tapi serem, tapi baek. Gue besok balik, dibeliin tiket sama abang lo lagi, first class lagi, enak banget hidup gue. Besok-besok lo minta lagi dah gue ke sini, siap 99 pokoknya gue."

"Besok-besok gue mintain tiket biasa aja ke Bang Gama, sayang banget duit dibuang-buang buat beli first class, padahal sama aja, Jakarta-Bali doang," ucap Garin.

Hagi melirik, sedikit tak rela. "Bedalah, Rin! Lo udah kek cucu sultan di sana .... "

Celotehan keduanya terus berlanjut sampai tak sadar mereka tidur satu ranjang sampai pagi. Garin saat buka mata, ada Hagi di sampingnya, sedikit terperanjat, tapi tidak sepanik biasanya.

--

Garin mematut diri di cermin wastafel dari tadi, sudah sekitar 15 menit.

"Belom beres juga lo ngaca? Udah jelek, ya, jelek aja," seru seseorang dari dalam kamar. Gama. Brengsek sekali dia, bukannya mengobati hati Garin yang sedang bersedih karena rambutnya dibotak, malah berkata menyakitkan. Garin keluar dari toilet dengan mulut cemberut dan tangan mengelus-elus kepala plontosnya.

EGO (Selesai) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora