PART 27 II

4.7K 583 24
                                    

Mama datang dengan wajah yang tampak ragu. Sama seperti Mama yang menemui Garin untuk kedua kalinya di waktu pertama kali mereka bertemu lagi waktu itu. Kaku dan ragu. Mama menyuapi Garin tanpa banyak bicara dan tak menatap mata Garin.

"Ma, Garin bakal sembuh kok. Garin gak akan nambahin trauma di hidup Mama. Kemarin Garin ketemu orang yang sembuh dari kanker stadium 4, kondisinya udah parah, 4 tahun dia berjuang. Garin juga pasti bisa, Ma. Mungkin belum waktunya sekarang, tapi nanti, kankernya pasti pergi."

Mama menunduk, memegang sendok yang ada pada mangkuk, dengan erat. Garin tahu Mama trauma akan ditinggalkan, Mama sudah merasakan rasanya ditinggalkan sejak umur belia, dan berlanjut menyaksikan beberapa orang di sampingnya satu per satu pergi, terakhir Papa.

Mama mulai terisak dengan jelas.

"Ma," Garin berniat untuk menyentuh Mama, tapi Mama mundur.

"Maafin Garin." Garin menatap sendu, merasa bersalah telah membuat mamanya ketakutan.

-

"Bang, Mama baik-baik aja, kan?"

"Hm? Emangnya Mama kenapa? Tadi gue ke rumah, gak kenapa-napa."

Garin menunduk. "Gue udah picu trauma Mama. Tadi Mama nangis, terus pulang gitu aja."

Garin lalu mendongak, menatap Gama. "Bang, boleh gak, gue minta lo pulang dulu. Bilang sama Mama, gue bener-bener gak akan nambahin trauma Mama. Gue mau berjuang. Gue bakal sembuh."

"Besok aja, Rin. Gue yakin lama-lama juga, Mama bakal nerima keadaan."

"Menurut lo, gue bakal bisa survive gak, Bang?"

Dengan wajah sendunya, Garin menatap Gama. Gama terdiam. Dia. Hanya mencoba untuk realistis. Tidak optimis. Tidak juga pesimis. Tapi.

"Lo bisa, Rin." Tapi, sekarang Gama memilih untuk optimis. Ya, dia harus tetap optimis untuk Garin.

--

Demam. Tiga hari berturut-turut setelah kemo dosis pertama, Garin diserang demam. Dokter melakukan peninjauan; tes darah, X-ray, Ct-scan, dan lain-lain, seluruh tubuh Garin dilihat. Ada musuh lain, selain kanker, yang sama bengalnya; Pneumonia bakteri, infeksi di paru-parunya yang disebabkan oleh bakteri. Harus mereka perangi dengan sengit menggunakan antibiotik.

Transfusi masih dilakukan agar kondisi Garin stabil, penurunan hemoglobin diusahakan tidak drastis, dan trombosit juga dijaga, agar tidak terjadi pendarahan di dalam.

Garin menyadari ini perang besar, ada dua musuh yang kuat di dalam tubuhnya. Dan dari luar, dia terus kirim senjata untuk mematikan mereka. Garin terbaring seharian, membiarkan musuh dalam tubuhnya berperang dengan dokter. Dia sendiri merasa kelelahan dan hanya bisa berdo'a, meminta bantuan dari energi luar.

--

Garin tersenyum melihat Mama yang kembali merawatnya dengan telaten. Menyuapinya makan dengan sabar dan mengompres Garin yang terus-terusan demam. Papa juga selagi di rumah, selalu mengunjunginya, tak bosan untuk mengajak Garin tinggal di rumah, tak peduli sudah sehat atau belum, Papa bilang akan mengatakan yang sebenarnya pada Theo, tapi Garin tetap melarang dan menolak untuk tinggal di rumah. Tunggu sampai dia sembuh. Ya, Garin sudah berjanji pada Mama.

--

Dalam seminggu ini, Garin sudah dua kali X-ray dada dan melakukan pemeriksaan lain untuk melihat keadaan paru-parunya. Bakteri di sana sama bengalnya dengan kanker yang masih aktif mengacau pembentukan sel darahnya.

--

"Uhuk ... Uhukk .... "

Suara batuk berdahak itu beberapa kali terdengar lebih sering sejak kemarin, selalu keluar diiringi kernyitan di dahi. Garin demam dan menggigil, ditambah batuk, dan sesak napas, dari kemarin nasal kanul tak lepas.

"Ini gak ada yang salah sama immunoterapi dan kemoterapinya?" Gama bertanya. Adiknya tampak kepayahan sejak kemarin.

Seorang dokter yang tengah memeriksa, menggeleng. "Ini masalah lain, Pak. Perkembangan bakteri di paru-parunya, yang membuat infeksi tak kunjung sembuh. Saya sudah berikan penurun demam dan pereda batuk dosis rendah agar bisa tidur dengan nyaman, antibiotik juga masih diberikan. Pasien akan selalu kami pantau perkembangannya."

Gama mengangguk, mengucap terimakasih sebelum dokter itu pergi.

Batuk Garin mereda dan dia tidur setelah dokter menyuntikan obat tadi.

-

"Bang, gimana?"

"Garin belum bisa pegang handphone, Gi. Kondisinya belum baik."

"Kabarin gue tiap hari ya, Bang."

"Iya."

Gama mengembuskan napas panjang. Hagi selalu menelponnya, menanyakan Garin. Gama meluruhkan punggung pada sofa. Memijit pangkal hidungnya yang terasa pening. Seperti kata pepatah; kita harus melewati jalan yang sulit untuk mencapai kemenangan yang indah. Iya, kan?










 Iya, kan?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


🌹

EGO (Selesai) Where stories live. Discover now