PART 5

7.5K 790 104
                                    


"Gimana kalo kita pinjem duit aja dulu, buat pengobatan lo."

"Gak usah aneh-aneh lo, Gi."

"Gue seriusan, Garin."

Garin melirik Hagi, teman seperantauannya, sama-sama dari Jakarta. Lima tahun yang lalu mereka ke sini bersama.

"Yang sakit gue, kenapa lo pake kata kita," ucap Garin.

Hagi mendecak. "So-li-da-ri-tas," katanya dengan penuh penekanan di setiap suku kata kemudian melirik Garin dengan ujung mata.

Garin tak menyahut, bola matanya bergerak, beralih menatap ujung kaki yang berselonjor di atas ranjang.

"Gue gak mau berobat," ucapnya.

"Lo bisa mati, Rin," sahut Hagi sembari melirik datar.

Garin menoleh. "Lo juga bisa mati," katanya, membalas.

Membuat Hagi menghela napas. "Emang no debat lah kalo ngomong sama lo."
Lelaki yang tak kalah jangkung dari Garin itu, menegakkan badan yang semula bersandar pada dinding.

"Gue mau nyebat dulu di warung. Kalo mau apa-apa, telepon aja." Hagi kemudian keluar dari kamar, meninggalkan Garin sendiri. Koper dan ranselnya masih teronggok begitu saja di dekat pintu, dia baru sampai beberapa jam yang lalu. Begitu tiba, tadi langsung tidur.

--

"Tadinya lo mau ajak sapa buat tinggal sini?"

Hagi menggeleng. "Kagak ada," menyahut singkat. Di ruang makan yang menyatu dengan ruang TV itu, mereka sedang menikmati makan malam, Mie pangsit ayam yang dibeli di warung depan gang. Rumah yang keduanya tinggali ini adalah rumah kontrakan, lima tahun berpindah-pindah tempat, dan berakhir di rumah ini sejak satu tahun yang lalu.

"Cari orang buat bisa tinggal satu rumah itu gak gampang kalo menurut gue," ucap Hagi.

Garin terkekeh, mengangguk.

"Iya si, lo sama gue yang udah kenal lama aja masih sering cekcoknya, apalagi sama orang baru," katanya, setuju.

Hagi pun mengangguk. "Makanya gue males, nemu yang satu frekuensi itu susah." Hagi menyeruput mie panjangnya dengan sumpit.

"Gue antara seneng dan gak seneng sih,
lo balik lagi," ungkapnya.

Garin mendongak, meneguk minum.
Memperhatikan temannya itu, menunggu kelanjutan dari ucapannya.

"Balik ke rumah lo sana, ya kali nyokap lo gak kasian liat anaknya sakit parah," kata Hagi.

Garin mendecak pelan, meletakkan gelas. "Sama abang gue aja, gue ditolak mentah-mentah, Gi. Apalagi datengin nyokap," sahut Garin, putus asa.

Hagi menghela napas, agak valid sih.
"Terlalu durhaka sih lo," ceplosnya.

Garin menghentikan kunyahan, menatap nya lurus. Pasti masuk tuh kena hatinya.

Hagi terkekeh. "Becanda."

Garin mendecih, becandanya nyentil hati.

--

Badan Garin tiba-tiba panas tinggi di malam hari, tulang-tulangnya terasa begitu sakit. Hagi bingung sendiri, dia terbangun dari tidurnya karena mendengar suara erangan, padahal mereka tidur di kamar berbeda. Ya, saking nyaringnya erangan Garin. Dejavu ke bulan kemarin, saat pertama kali Garin masuk ke rumah sakit. Hagi sudah mengambil selimutnya, dan selimut cadangan, menumpukan pada tubuh Garin yang menggigil. Sudah tiga selimut tetap saja menggigil.

"Haduuuhhhhhhhh ... " Garin merintih tak henti-. "Gi ..." Dingin dan nyeri menyatu, menyiksa sampai ke dalam jiwa.

"Gue minum ... semua obatnya ... Sembuh gak, ya ...?" racaunya.

EGO (Selesai) Where stories live. Discover now