15. Berita Kematian

164 3 0
                                    

Cahaya kuning menyelinap masuk melalui celah celah dinding kabin. Mentari telah terbangun dari lelapnya. Malam yang pekat telah berlalu. Tapi hati yang patah itu masih tak jua mendapat sembuh.

Raline terbaring menyamping di atas busa berbalut kain putih. Air mata masih terus meleleh dari pelupuknya. Walau sudah mencoba, Raline tak bisa lagi tertidur setelah kejadian malam tadi. Lebih tepatnya, ia tak bisa berhenti memikirkan perkataan Ranu yang sangat menancap dalam melukai perasaannya.

Sudah dari semalam Raline menatap daun pintu berwarna putih di depannya. Ia menunggu seorang pria datang membuka pintu itu dan berlari memeluknya seraya mengucap maaf. Tapi sampai matahari keluar dari peraduannya, sosok itu tak pernah datang. Pintu tersebut masih serapat saat terakhir ia membantingnya sangat keras.

Tok.. tok.. tok

Bunyi pintu diketuk membuat Raline terlonjak. Ia sempat mengira itu adalah Ranu sebelum suara pria lain terdengar dan membuat senyumnya kembali menyusut.

"Raline, ini aku, Jay. Ranu memerintahkanku untuk membawamu kembali ke penthouse. Bolehkah aku masuk?"

Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, Raline beranjak bangun. "Ya,"

Ceklek

Pintu terbuka bersamaan dengan masuknya sosok pria yang terkenal dengan sebutan tangan kanan Ranu. Pria tersebut tercekat begitu matanya menangkap kondisi Raline yang terlihat kacau. Wajahnya pucat pasi, bibirnya tampak diselimuti putih dan matanya cekung sedikit bengkak.

"Berhenti menatapku begitu. Aku baik-baik saja."

"Kau yakin?"

Raline mengangguk singkat, "Aku akan bersiap-siap." Jawabnya diangguki Jay. Ia lantas melenggang pergi untuk mengemasi beberapa barangnya.

"Bagaimana bulan madumu di Paris? Kau menikmatinya?" Jay berdiri di sebelah Raline. Membantu wanita itu memasukan tumpukan baju ke dalam koper.

"Hm, begitulah." nada bicara Raline terdengar hambar.

Jay diam-diam meliriknya dari samping. Ada sendu yang tersemat di balik senyum terpaksa Raline. Wanita itu tak biasanya menampakan wajah murung. Lagi, kedua kelopak matanya terlihat bengkak seperti habis menangis. Pasti ada sesuatu yang terjadi antara Raline dan Ranu, pikir Jay.

"Raline, apa kau keberatan aku menggunakan toiletmu sebentar? Tiba tiba aku merasa ingin buang air."

Raline berhenti melipat. Ia menoleh ke samping sesaat dan mengangguk kecil.

Setelah jay menghilang dari pandangan. Raline melanjutkan aktivitasnya. Ia dengan telaten memasukan satu persatu bajunya ke dalam koper. Namun gerakannya terhenti saat menemukan sebuah kaus hitam. Raline menatap benda itu sesaat, mendekatkanya ke hidung, lalu menghirup aromanya dalam-dalam.

Harum citrus bercampur lemon dan sensasi woody membuat mata Raline lagi-lagi memanas. Buru-buru ia menengadah agar tak ada bulir yang jatuh. Ia lantas memasukan kaus itu asal-asalan sebelum kemudian menarik risleting koper.

Nyeri berdenyut di kepala Raline tiba-tiba. Ia bersicepat melangkah keluar mencari udara segar untuk meredakan mualnya yang kembali datang.

-R&R-

Waktu belum menujukan pukul 10 pagi, namun mentari di langit ibukota sudah mulai mengganas. Teriknya berhasil menyengat kulit siapapun yang berlalu lalang tanpa penutup. Ditambah lagi, asap hitam yang mengepul dari knalpot kendaraan umum semakin memperburuk atmosfer udara.

Di depan pelataran gedung tinggi berdinding kaca, Raline berjalan dengan wajah kusut. Satu tangannya menarik koper berukuran sedang. Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam menggunakan kendaraan darat, Raline akhirnya sampai jua ke rumah berpulangnya.

If Something Happens I Love You: THE UNFORGIVABLE MISTAKEWhere stories live. Discover now