28. Surat Cerai

223 4 0
                                    

Dalam ruang berdinding putih itu dua orang berjenis kelamin perempuan duduk saling berhadapan. Masing-masing dari mereka duduk diatas sofa single empuk yang diperuntukan untuk keperluan konsultasi psikis.

Sudah hampir satu jam lamanya mereka bertukar kata dengan salah satu diantaranya lebih banyak berbicara dan yang lain lebih banyak mendengar. Hembusan napas berat sesekali terdengar dari mulut pihak yang masih setia menyimak cerita lawan bicaranya.

".... Dia membuat suasana hatiku kembali berantakan. Karena itu, bisakah kau memberikan aku antidepresan lagi?" ucap Raline pada wanita di depannya yang bernama Lydia.

Lydia adalah dokter kejiwaan yang juga punya gelar spesialis ganda sebagai obgyn. Karena terkenal dengan presetasi gemilangnya dalam dunia kedokteran terutama di bidang kejiwaan, Megan mempercayakan Lydia untuk menjadi konselor Raline yang depresi berat pasca kejadian traumatis itu. Ia mengenal Lydia pada saat secara kebetulan Lydia juga yang menangani kasus keguguran Raline. Dan sampai sekarang, hampir tiga tahun setelahnya, konseling itu masih terus berlanjut.

Hanya Lydia satu-satunya orang yang tahu kisah pilu Raline sepenuhnya. Dengan begitu mudah ia membuat Raline menceritakan sendiri pengalaman hidup yang dialami hingga sampai di titik rendah seperti masa masa ini. Mulai dari awal pertemuannya dengan seorang billioner lalu menikah dan sekarang diambang perceraian, semuanya Lydia ketahui.

"Aku mengerti semua hal yang kau lalui benar-benar sangat berat. Tapi kau sudah lebih dari dua tahun mengonsumsi antidepresan, Raline. Obat itu mungkin tak akan lagi ampuh dalam dosis yang sama seperti dua tahun lalu-"

"Kalau begitu tambahkan dosisnya." Raline memotong.

Hembusan napas lagi-lagi keluar dari mulut Lydia, "Tidak bisa. Keadaanmu yang sekarang sudah berbeda dengan dua tahun lalu. Menambah dosis akan sangat membahayakan," Mendengarnya membuat Raline bergeming, air mukanya berubah.

"Saat tahu kedatangan mereka, kau sangat bahagia, aku bisa melihatnya. Mereka yang menguatkanmu. Dan sejak ada mereka kau tidak pernah lagi mendatangiku dengan keluhan depresi seperti dulu. Jika kau nekat kembali mengonsumsi antidepresan bisa-bisa nyawamu terancam. You don't wanna lose them, do you?" lanjut Lydia, membuat Raline menjadi muram.

Samar-samar Raline menggeleng. Wajahnya pias dan matanya sayu membuat Lydia menatapnya iba, "Kau punya ayah dan ibu tiri yang sangat menyayangimu. Setidaknya lakukan ini demi mereka," kata Lydia lagi.

"Kalau begitu berikan aku obat tidur saja-"

"Bukankah beberapa waktu lalu aku baru mengirimimu obat tidur?" Lydia memotong dengan alis menyambung.

Bibir Raline mengatup, "Sudah habis-"

"What?! Berapa banyak yang kau minum dalam semalam? Kau seharusnya tak minum lebih dari satu. Itu bisa-"

"I know," sergah Raline, "Sesuatu terjadi lagi antara aku dan dia. aku hanya ingin tidur dan melupakannya sesaat," wajahnya tertekuk.

Lydia menghembuskan napas beratnya, "Aku tahu ini memang berat. Tapi bagaimanapun juga kau harus mulai belajar agar bisa lepas dari ketergantungan obat. Ada banyak cara yang lebih aman untuk kau coba agar pikirannmu menjadi tenang dan tidurmu nyenyak, misalnya olahraga-"

"I did. But it still didn't work," Raline menatap lantai-lantai ruang konseling itu dengan mata kosong. Pikirannya melalang buana selalu tidak bisa berhenti dan malah bertambah rancu.

Lydia menangkap wajah kalut Raline. Segera ia mencondongkan tubuhnya dan merengkuh kepala wanita itu. Kasian sekaligus kagum adalah kesan yang dapat Lydia berikan pada sosok Raline. Kasian karena sepanjang hidupnya, Raline selalu mengalami sesuatu yang tidak mudah bagi semua orang. Kagum karena sebanyak apapun masalah, Raline selalu bisa tegar dan bertahan walau beberapa kali hampir menyerah. Jika berada diposisinya, Lydia sudah pasti akan selalu memilih mati.

If Something Happens I Love You: THE UNFORGIVABLE MISTAKEWhere stories live. Discover now