29. Sebuah Pelukan Hangat

237 4 0
                                    

"Kau harus mati supaya aku bisa memaafkanmu."

- Raline


"Seriously?!!"

Justin tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya saat seorang dokter berjenis kelamin perempuan menceritakan kondisi Raline. Karena panik melihat darah cukup banyak keluar dari hidung wanita itu, Justin tanpa pikir panjang langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.

Saat baru sampai, Justin dibuat kebingungan karena Lydia- kakak kandung Justin yang sekaligus bertugas sebagai psikiater di rumah sakit tersebut, datang menghampirinya tergopoh-gopoh sambil mendesaknya untuk membawa Raline ke ruangan praktiknya. Justin awalnya protes sebab untuk apa orang yang mimisan sehabis ditampar harus dimasukan ke poli psikiatri. Namun Lydia yang menyatakan diri sebagai dokter rawat jalan Raline membuat Justin terpaksa menurut.

"Dia tidak mimisan karena ditampar, tapi karena kelelahan kronis dan kurang tidur. Beberapa hari lalu dia mendatangiku untuk meminta obat tidur tapi aku tidak memberinya," Lydia kembali menjelaskan dengan sesekali mengeluarkan helaan, "Tahu akan begini harusnya aku berikan saja kemarin."

Terlihat dari samping, raut kakaknya terlihat frustasi membuat Justin termenung sesaat, "...aku baru tahu ternyata pasien tetap yang sering kau ceritakan adalah dia."

Lydia memang beberapa kali sempat berbagi cerita pada adiknya mengenai kasus yang sedang ia tangani. Selain karena kedekatan kakak beradik itu yang sedari kecil sudah sering berbagi kehidupan masing-masing, cerita tentang kasus Raline juga menarik perhatian Justin hingga ingin terus mendengar kelanjutannya.

"Walaupun sudah mendengar ceritaku tentang garis besar masalahnya, pura-puralah kau tidak mengetahui apa-apa, Justin. Tetap panggil dia dengan nama yang ia gunakan saat menemuimu," ujar Lydia dijawab anggukan pelan.

Ditatapnya Justin sedang memandang wanita di atas bangsal dengan sorot berjuta arti. Lydia tahu, adik laki-lakinya itu terlena oleh sesuatu dalam diri Raline.

"Aku tahu kau tertarik padanya," ucapnya tiba-tiba membuat Justin menoleh dan kedua mata sedarah itu saling menatap, "Bukankah dia sangat mirip dengan Sofia?"

Justin terdiam. Saat pertama kali bertemu langsung dengan Raline di tempat itu, Justin tidak sekalipun mengalihkan pandangannya. Wajah Raline mengingatkannya pada Sofia, mendiang istrinya yang meninggal dua tahun lalu.

"Aku juga tahu kau datang jauh-jauh ker ke gym itu hanya untuk melihatnya, kan?"

Lagi-lagi Lydia berhasil membuat bibir Justin semakin terbungkam. Lydia menghembuskan napas pendek sesaat kemudian menepuk bahu adiknya pelan, "Apapun yang terjadi, jangan sampai terlibat diantara mereka atau kau akan dalam masalah besar," ucapnya dengan nada berhati-hati.

Justin hanya terdiam sampai punggung Lydia menjauh. Ia menatap kosong ke ruang hampa sesaat sebelum kemudian mengerling pada sosok wanita di atas bangsal yang menunjukan tanda-tanda siuman.

— R&R —

Kedua kelopaknya terbuka bersamaan. Sedikit demi sedikit sampai cahaya terang memenuhi indra penglihatannya. Raline mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya kembali terpejam ketika merasakan pening merambati kepalanya.

"Kau sudah bangun?"

Suara hangat seorang wanita membuatnya menoleh ke samping.

"Berapa lama aku tertidur?" tanya Raline pada Lydia.

Lydia menggelindingkan matanya ke atas, "Entahlah, mungkin 15 menitan"

"What?!" Raline mendesah kecewa, "Kenapa sebentar sekali? Aku butuh tidur lebih lama, sudah hampir tiga hari aku tidak tidur," lenguhan kecil mengakhiri kalimatnya.

If Something Happens I Love You: THE UNFORGIVABLE MISTAKEWhere stories live. Discover now