30. Hallucination

211 3 0
                                    

"Terima kasih sudah datang, walau hanya dalam ilusiku"

- Ranu


Kemana dirimu selama ini?! Kenapa kamu tidak pernah ada saat aku membutuhkamu?!

Sudah semalaman, pria itu masih berjalan lontang-lantung tanpa arah tujuan. Matanya sunyi. Kepalanya di penuhi suara wanita pilu yang memijar diantara gelap langkah sempoyongannya. Kakinya menganyun dengan tatapan kosong menyusuri jalan raya. Penampilannya sangat kacau. Rambut hitam lebatnya mencuat kemana-mana. Wajahnya sayu tanpa sinar. Dan sorotnya yang biasa tajam dan menusuk kini kosong melompong tak berpenghuni. Di tangannya, masih tergenggam erat leher sebotol wine yang isinya tinggal beberapa teguk.

Ranu dibantai hampa.

Hanya suara angin dini hari yang mengolok-oloknya dengan bahasa mereka. Langit gelap seperti ikut mengejek dalam bisunya. Lewat sunyi, Ranu merasa Tuhan sedang memandangnya kecewa.

kenapa kau tidak pura-pura mati saja selamanya?

Sia-sia saja kamu selamat karena aku sudah menganggapmu mati!

Duka dalam larik kalimat itu lagi-lagi mencakar kepalanya.

Bukankah manusia memang tidak luput dari kesalahan? Bukankah Ranu juga masih layak menjadi makhluk Tuhan walau berkali-kali berbuat salah? Jika iya, maukah Tuhan mengabulkan satu permohonannya?

Ranu.... ingin binasa sekarang juga.

Ranu tidak mampu hidup dalam pedih yang mengawang disela hembusan napasnya. Untuk apa Ranu hidup jika belahan jiwanya ingin dia mati?

Bilamana hatinya kacau, selalu Raline yang menatanya lagi. Bilamana penat hampir menghanguskannya, senyum Raline memadamkannya lebih dulu. Lihat, betapa dermawannya Tuhan mengirimkan anugrah seindah wanita itu padanya.

Tapi apa balasnya? Ranu justru merasa angkuh dan tidak tahu diri. Anugrah yang telah dititipkan baik-baik padanya malah disakiti tiada henti. Tak sekalipun Ranu membuatnya bahagia lagi.

"Raline?"

Tiba-tiba kakinya berhenti melangkah. Sosok wanita cantik dengan gaun putih muncul dihadapannya dengan senyum lebar. Tubuh sosok itu dihinggapi cahaya terang. Rambut panjangnya berderai dihantam semilir bayu. Mata coklatnya membingkai teduh yang menghangatkan.

Kedua ujung bibir Ranu terangkat kuat ke atas, "Kamu datang?"

Sosok itu mengangguk. Lalu kedua tangannya terentang lebar. Menyambut tubuh Ranu yang berhambur ke arahnya. Namun, ketika tinggal beberapa langkah lagi, sosok itu menguap seperti asap di perapian. Sosok dalam kepala Ranu itu hilang, menyisakan udara hampa yang menertawainya.

Kembali pada realita, Ranu melanjutkan langkah tak berpetanya. Persetan dengan matahari yang mulai mengintipnya di ufuk timur. Persetan juga dengan lalu lalang mobil yang mulai datang bertundun-tundun. Ia tak akan peduli jika ada mobil dinas sosial menangkapnya karena membawa botol minuman keras kemana-mana. Persetan dengan semua itu!

Ciit

Bunyi decitan suara karet ban dan aspal terdengar di belakangnya membuat Ranu berdecih. Apa ini? Secepat itukah mobil dinas sosial datang menjemput karena mengiranya sebagai gelandangan gila?

Cih, akan Ranu tunjukan seberapa banyak uang yang ia miliki pada petugas dinas sosial itu!

Ranu hendak berbalik ketika sesuatu yang padat dan kuat menghantam tengkuknya keras. Tak butuh lama bagi pria itu untuk tersungkur lemas. Pandangannya memburam, dan kesadarannya dirampas gulita.

If Something Happens I Love You: THE UNFORGIVABLE MISTAKEWhere stories live. Discover now