4. Dependency 🌷

125K 13.3K 36
                                    

Happy Reading 💜

***

"Nyonya ..."

Reane tersentak kaget, dan ia langsung tersadar dari lamunannya. Menoleh ke belakang, dia melihat Emi yang menunduk sopan.

"Ada apa?"

"Makan malam sudah siap, Nyonya."

"Baiklah. Sekarang kamu pergi memangil Ray--ah! Maksudku ... Memanggil suamiku ke ruang makan. Saya akan menyusul."

"Baik, Nyonya."

Setelah pintu tertutup, Reane menghadap lagi ke depan. Dia ada di balkon sekarang, saking lamanya melamun, dia baru menyadari bahwa langit sudah gelap.

Reane menghirup udara, lalu menghembuskannya dengan pelan. Setelah itu, dia mundur dan menutup pintu balkon.

Reane berganti baju terlebih dahulu dan pergi ke ruang makan. Saat sampai di sana, dia tidak mendapati Ray.

"Di mana Tuan Muda?" tanyanya kepada pelayan yang tengah merapikan piring di meja.

"I-tu ... Tuan Muda belum turun."

"Lalu di mana Emi?"

"Saya sempat melihatnya pergi ke arah kamar Tuan Muda, tapi dia belum kembali."

Emi adalah pelayan dengan umur sekitar kepala empat. Dia merupakan satu-satunya pelayan yang paling akrab dengan Ray. Akrab di sini, dia selalu berhasil membujuk Ray untuk makan dan melakukan aktifitas lain agar tidak selalu mengurung di kamar. Dia sangat berperan besar di rumah ini.

Selain Emi, ada kepala pelayan yang merupakan pria sekitar 30 tahun, dia orang kedua yang paling dekat dengan Ray. Saat ini, dia sedang mengambil cuti.

Reane merasa heran karena sudah hampir lima belas menit, namun Emi sepertinya belum berhasil menarik Ray keluar.

Dia akhirnya mengambil keputusan, dan pergi sendiri ke arah kamar Ray. Tangga rumah ini cukup jauh, belum lagi koridor yang melewati beberapa ruangan redup. Semua ruangan ini merupakan kamar kosong, sedangkan kamar para pelayan berada di bawah.

Jarak antara kamarnya dan Ray benar-benar jauh, mungkin membutuhkan sekitar lima menit untuk sampai.

Hampir pada ujungnya, Reane melihat Emi yang cemas dan terus menerus mengetuk kamar Ray. Ia bisa mendengarnya bicara.

"Tuan? Bisakah Anda keluar? Anda harus segera makan malam ... Nyonya sudah menunggu."

"Emi? Ada apa?"

Emi terkejut karena tidak menduga Reane akan sudi datang ke sini. Dengan buru-buru ia memulihkan ekspresinya, dan berkata. "Nyonya ... sudah sedari tadi saya memanggil Tuan Muda, tapi dia tidak keluar sama sekali. Saya ragu, apakah dia ada di dalam?"

"Apakah pintunya terkunci?"

Mata Emi membola ketakutan seolah dia melakukan kesalahan besar. "Sa-ya! Saya tidak berani, Nyonya ..."

Reane terkejut karena reaksinya yang besar. Ia segera tersenyum. "Tidak apa-apa, saya akan memeriksanya sendiri. Kamu boleh kembali bekerja."

Emi terlihat ragu-ragu.

"Kamu meragukanku?"

"T-idak, Nyonya! Saya hanya cemas ...." Emi buru-buru menunduk dan berjalan melewati Reane dengan sopan. Ia lantas pergi dengan langkah gugup.

Setelah langkah kakinya menjauh, Reane menatap pintu di hadapannya. Selayaknya tuan rumah ini, pintu kamar Ray sangat mencolok dan besar dari ruangan lain, namun berwarna gelap menambah kesuraman. Selain itu, koridor menuju kamar ini cukup menakutkan.

Reane tidak berniat mengetuk atau memanggil, namun ia menyentuh kusen pintu dan menekannya.

Ceklek.

Pintu tidak terkunci.

Reane terkejut. Mengapa Ray tidak mengunci kamarnya? Melihat dari celah pintu, di dalam benar-benar gelap.

Reane sedikit takut sehingga jantungnya berdegup kencang. Ia memanggil pelan. "Ray? Apakah kamu di dalam?"

Hening ...

Reane menggigit bibirnya dan memberanikan diri membuka pintu lebih lebar untuknya masuk. "Ray ... Aku masuk."

Matanya tidak bisa melihat apa-apa karena terlalu gelap gulita. Tangan Reane gemetar tanpa sadar. Ia memegang kusen pintu karena takut pintu itu menutup sendiri dan mengurungnya di ruang gelap ini.

"Ra-y? Makan malam sudah siap ... Apakah kamu di sini?"

Cahaya bulan di luar lewat jendela dan tirai, hanya itu yang bisa Reane lihat. Ruangan luas ini tidak bisa di tangkap penglihatannya sepenuhnya.

Reane merasakan suara nafas yang mendekat. Ia mencengkeram kusen pintu tanpa sadar. Dia semakin gugup. "Ray?"

"Ah!" Pergelangan tiba-tiba di tarik oleh tangan yang kuat. Sepertinya dunia berputar, saat membuat mata, Reane sudah di tekan di tempat tidur.

Nafas kasar bisa ia rasakan dari orang di atasnya. Walaupun dalam keadaan gelap, Reane bisa dengan jelas melihat wajah dan matanya yang tersinar cahaya bulan dari luar.

"Ra-ray?" Reane menyusut ketakutan. Ia sama sekali tidak bisa bergerak karena di tekan olehnya. Wajahnya pucat dengan keringat dingin.

Dia tidak berbicara, namun matanya yang menyipit seolah bertanya-tanya, apakah kamu benar-benar Reane?

Bibir pucat Reane bergetar, ia memaksakan senyum dan berkata setenang mungkin. "R-ay ... ayo kita makan malam ... kamu pasti lapar, kan?"

Ray tetap diam. Lalu, matanya menangkap perban putih yang melilit kepala Reane. Pupil matanya tiba-tiba menyusut, dan ekspresi gelap. Tangan yang tidak menekannya terulur menyentuh perban itu.

Reane terkejut, dan senyumnya berangsur-angsur hangat. "Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil. Kamu tidak perlu merasa bersalah."

Mungkin di bilang terlalu percaya diri, namun Reane tidak peduli. Ia menganggap perilaku Ray tengah mengkhawatirkannya. Reane tiba-tiba mengambil tangannya yang masih menyentuh perban, dan Ray menegang hingga menepisnya tanpa sadar.

"Ah maaf!" Reane langsung meminta maaf karena merasa sangat lancang. "I-tu ... Kamu tidak boleh terus menyentuhnya, aku merasa sedikit sakit."

Mungkin tak menduga oleh reaksinya sendiri, di tambah perkataan Reane, Ray mengernyit penuh kebingungan. Terlihat polos.

"Bisakah kamu bangun? Kita harus segera pergi. Aku khawatir makan malamnya akan mendingin."

Ray terdiam menatapnya, lalu dia bangun dan menyingkir.

Reane menghela nafas lega. Entah ada apa dengan Ray hari ini, tapi sepertinya dia tidak terlalu membenci Reane. Dia hanya takut sikap Ray kepada Reane untuk ke depannya, akan berpengaruh pada masa depannya.

Reane begitu berani sekarang, karena di awal-awal novel itu, sikap Ray kepada Reane sama kepada sikapnya kepada orang lain, padahal dia sadar bahwa Reane adalah istrinya. Namun, jika Reane yang sekarang lebih peduli pad Ray, mungkin sikap pria itu akan berubah pula.

Saat Reane turun dari tempat tidur dan berjalan keluar, ia tidak mendapati Ray mengikuti. Saat menoleh, dia malah duduk diam menatapnya.

"Ray? Ayo pergi."

Dengan tanpa ekspresi seperti biasanya, dia berdiri dan bejalan pelan. Semakin dekat, maka Reane semakin mendongak karena tubuhnya yang tinggi.

Walaupun tinggi dan di anggap dewasa pada umurnya, namun mentalnya seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Itu adalah Ray dalam keadaan normal. Tapi, jika penyakitnya kambuh, maka amarahnya melebihi orang dewasa dan lebih menakutkan.

Itulah mengapa Reane ingin menaklukan Ray selagi semuanya belum memburuk.

***

TBC

08 Agustus 2022

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Onde histórias criam vida. Descubra agora