15. Dependency 🌷

99.9K 14.3K 955
                                    

Happy Reading

~•~

"Apakah kamu bisa menebak tujuan kami datang?"

Reane mengabaikan Ray yang terus menempel padanya dan menjawab bingung. "Mungkin Nenek, Ibu, Ayah, dan Kakak Ipar merindukan Ray, bukan?"

Rose tersenyum tak terduga. "Jawabanmu sangat positif."

Kini mereka semua tengah duduk di ruang santai. Ada cemilan dan teh tersedia di atas meja yang terletak di tengah-tengah.

Rose duduk di sofa tunggal. Reane dan Ray duduk di sofa kanan, dan yang lain duduk sofa panjang sebelah kiri Rose.

Sebelum melanjutkan topik, Rose menatap diam Ray yang tengah memainkan rambut Reane. Sesekali dia melakukan hal bodoh dengan gerakan polos. Namun itu lebih tenang dari yang dia bayangkan. Sejak kapan cucunya itu terlihat sangat bergantung pada Reane?

Yang dia lihat terakhir kali, Reane cukup acuh tak acuh walaupun sikapnya cukup baik kepada Ray. Dan Ray sendiri, sependiam biasanya tanpa banyak tindakan.

"Namun, tidakkah kamu menebak kejadian di sini malam kemarin menjadi penyebabnya?"

"Kejadian ....?" Reane langsung mengingat seberantakan apa rumah ini malam kemarin, dan itu ulah Ray. Bukankah itu sudah biasa? Apa masalahnya?

"Grehen." Suara memanggil Neila terdengar. Rose menatap menantunya dengan wajah bertanya apa maksud dia memanggil kepala pelayan.

Tidak butuh waktu lama Grehen datang dengan langkah teramat lambat. Dia menyapa semua orang dengan sopan.

Pandangan Neila langsung tertuju pada kaki Grehen dengan maksud tertentu. "Apakah kakimu sudah baik-baik saja?"

"Tidak ada yang terjadi dengan kakiku, Nyonya." Grehen menjawab tanpa mengubah ekspresinya.

Neila menyeringai. "Tak perlu menyembunyikannya. Aku akan bertanggung jawab atas luka yang disebabkan putraku."

"Saya tidak mengerti apa maksud Anda, Nyonya."

Neila tersenyum sedih dan menatap wajah ibu mertuanya yang terlihat bingung. "Tahukah ibu? Aku sangat sedih saat aku mendengar putraku membuat beberapa orang terluka. Tidak hanya membuat kepala pelayan berjalan pincang, namun Lawin juga terluka parah dipunggungnya. Tulangnya patah, dan bekas cekikan terlihat jelas di leher pria malang itu. Aku sangat khawatir kejadian yang lebih buruk dan parah terjadi lagi. Bahkan beberapa penjaga dan pelayan saat ini dirawat."

Rose terkejut sehingga menatap Ray yang berwajah tanpa ekspresi. Dihadapkan dengan Reane, dia sepertinya memiliki dunia sendiri dan bertindak lunak sehingga siapapun tidak akan percaya bahwa dia yang melakukannya.

Sedangkan Reane tertegun dan membeku di tempat. Mengapa ia baru tahu separah itu? Dia sama sekali tidak melihat keberadaan Lawin yang merupakan psikiater Ray semalam. Jadi ia juga tidak tahu juga bahwa pria tua itu hampir saja kehilangan nyawanya. Reane yakin, Ray tidak akan bertindak sekasar itu tanpa sebab. Apalagi sampai membunuh.

Rose menutup mata dengan ekspresi redup. "Benarkah, Grehen?"

Grehen memiliki ekspresi keras di wajahnya. Kedua tangannya mengepal. Dia menggertakkan gigi dan menjawab. "Ya."

Mata Neila berkaca-kaca sembari menatap sendu Ray yang bahkan tak pernah menatapnya. "Aku sangat khawatir, Bu. Aku kira, keadaan Ray tidak sebaik yang ibu kira. Saat dia kambuh, mungkin orang yang paling dia sayangi pun akan terkena imbasnya karena diluar kesadaran. Terutama Reane ... aku takut."

Rose menatap cemas Reane, lalu Ray.

Grehen melihat Rose sudah terpengaruh oleh Neila. Dia ingin membuka suara, namun tenggorokannya kering sehingga ia tak mampu membantah atau mengeluarkan satu patah kata. Dia langsung menebak apa yang dikatakan Neila selanjutnya.

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Onde histórias criam vida. Descubra agora