13. Dependency 🌷

106K 13.5K 440
                                    

Happy Reading

~•~

    Di pagi hari, burung berkicauan seolah mereka tengah berada dalam suasana hati yang baik. Mewakili hari yang cerah, matahari yang hangat, suasana hati seorang gadis yang masih terbilang remaja, kini tak kalah jauh lebih baik. Matanya yang bulat dan jernih, kini memandang jauh puncak pepohonan tinggi nan hijau di luar balkon kamar.

Tok tok.

Suara ketukan di luar pintu kamar membuat pikiran gadis itu tertarik tanpa membuat pandangannya teralih pula. Dia menyahut dengan suara lugas. "Masuk."

Sudah menebak siapa yang datang ketika pintu terbuka, dia juga menebak apa maksud orang itu mengetuk pintu. "Pak Grehen memanggilku keruangannya, kan?"

Emi segera menelan apa yang akan diucapkannya. Ia sedikit tergagap dan melontarkan dua kata. "Ya, Nyo-nya."

Reane mengangguk dan berbalik badan menatap Emi. Gerakannya terlihat anggun dan sopan. "Apakah kekacauan semalam sudah dibereskan?"

Emi mengangguk dengan sedikit bungkukan dipunggungnya. "Ya."

Reane terdiam sebentar dengan pikiran melayang ke Ray. Semalam Rey langsung tidur setelah makan dan ia antarkan ke kamarnya. Pria itu begitu patuh sehingga Reane merasa seperti tengah mengurus anak laki-laki sampai tertidur setelah ia tidurkan. namun, Setelah dirinya terbangun tadi pagi, ia tak sempat mengecek kembali keadaan Rey di kamarnya.

Sepertinya Emi menebak apa yang dipikirkan Reane, Ia ragu-ragu sejenak. Lalu berkata. "Tu-an ... Tuan Muda bertindak normal seperti biasanya, Nyonya. Tenang saja, sudah ada Pak Grehen yang memenuhi sekecil apapun kebutuhan Tuan Muda dari bangun sampai tidur lagi di malam hari."

Reane menatap Emi dan merasa lega. Namun, entah kenapa ada juga sedikit rasa kehilangan menyelinap ke dalam hatinya. Apa karena ia terlalu berpikir banyak?

Reane menggeleng pelan membuat Emi sedikit bingung. Namun ia tak berani bertanya dan hanya berkata. "Pak Grehen sudah menunggu, Nyonya."

Reane menjawab linglung. "Ya."

***
"Selamat Pagi, Pak Grehen."

"Ya."

"Bagaimana suasana hatimu hari ini?"

"Biasa saja."

Reane mengangkat sebelah alis sembari menatap wajahnya yang datar. "Lalu bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang Anda lihat, Nyonya. Saya hidup, berarti saya baik-baik saja."

Reane menganggap jawabannya jenaka, namun diucapkan dengan suara dan wajahnya yang datar, ia menempis anggapannya. "Apa itu berarti hanya jika Anda sudah mati berarti Anda tidak baik-baik saja?"

"Itu kasar dan tidak perlu jawaban."

"Jangan salahkan pertanyaanku. Perbaiki saja jawabanmu sebelumnya yang tidak masuk akal."

Grehen memutar matanya. "Berhenti basa-basi, gadis kecil."

Reane duduk di bangku kosong dihadapan Grehen. "Baik, Pak Tua."

Grehen tak bisa menyembunyikan ekspresi jengkelnya. "Berhenti bercanda. Waktunya untuk serius."

Reane menatapnya dengan senyum polos. "Tidak ada yang mengajakmu bercanda. Apakah ekspresiku sejak awal masuk terlihat mengajakmu bercanda?"

"Kamu terlihat lebih menjengkelkan dari yang kubayangkan."

"Ya. Anda juga, Pak Tua."

Grehen menarik nafas dalam-dalam dengan urat-urat kesal menonjol dipelipisnya. mengepalkan tangan untuk tidak melampiaskan kekesalannya kepada 'Nyonyanya' itu, Grehen menahan kejengkelannya dan berkata langsung dengan ekspresi seriusnya. "Keluarga Helison akan datang ke sini nanti sore. saya pikir dengan beberapa kata yang saya beritahukan sekarang ini, Anda tahu apa yang harus Anda lakukan, Nyonya."

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now