17. Dependency 🌷

101K 13.1K 484
                                    

Happy Reading

~•~

     Reane membuka mata saat mendengar isak tangis yang tertahan. Pandangannya disambut dengan langit-langit gelap dan suram. Ia linglung dan sama sekali tak mengingat apapun. Entah di mana dia saat ini.

Bangun untuk duduk, Reane terkejut mendapati dirinya tengah berada di ruang yang tidak dikenal. Dan dia duduk di sofa tunggal merah kumuh dengan beberapa bolong. Melihat sekeliling, barang-barang penuh debu seperti rumah kosong tak terurus. Reane sangat bingung dengan situasi sehingga kepalanya pusing.

"Hiks ... Hiks."

Reane terbangun dari kebingungan saat isak tangis itu semakin jelas. Pandangannya beralih pada sebuah pintu cokelat yang merupakan asal tangisan itu terdengar.

Reane berdiri dengan terhuyung. Mengamati penampilannya sendiri, kini dia langsung teringat. Pakaian itu adalah gaun yang ia pakai saat menyambut keluarga Helison. Kakinya tidak memakai alas apapun.

Mengingat lebih dalam. Reane langsung teringat bahwa dia tertidur dengan memeluk Ray. Lalu, mengapa dia ada di tempat seram dan aneh ini? Apakah dia bermimpi?

Mencubit lengannya dengan keras, Reane langsung meringis. Hei! Ini bukan mimpi!

Lalu, apakah dia diculik? Siapa yang menculiknya? Apakah Reane asli menyinggung seseorang sebelum tubuhnya masuk?

Menyingkirkan semua pertanyaan yang semakin membuatnya frustrasi, Reane kembali terfokus kepada isak tangis menyedihkan itu.

Sembari berjalan ke arah suara dengan kaki telanjangnya, pandangan Reane menyapu seluruh ruang sempit itu. Sepertinya di luar sudah malam. Ruangan itu tidak ada lampu sehingga mengandalkan cahaya bulan yang masuk lewat jendela kayu tanpa kaca. Hanya di tutup gorden transparan berwarna krem.

"Hiks ... Hiks ..."

Suara itu semakin jelas. Itu adalah suara tangis anak kecil.

Reane mengerutkan kening. Memegang kenop pintu kayu yang rapuh, dia membuka perlahan. Pandangannya di sambut kegelapan yang gulita. Namun, isak tangis itu langsung berhenti senyap.

Jika saat lengannya di cubit dan tidak sakit, Reane langsung menganggap ini mimpi buruk tentang hantu. Namun nyatanya ini bukan mimpi! Dan isak tangis itu sangat jelas.

Dengan gugup Reane melangkah masuk. Tidak ada yang bisa ia lihat. Hanya samar-samar tempat tidur kecil. "Hallo? Apa ada orang?"

Tak.

Suara benda terjatuh membuat atensi Reane beralih pada sudut ruangan. Ia menyipitkan mata dan melihat sesuatu bergerak di sana. Semakin lama mengamati, semakin ia melihat bahwa itu adalah sosok anak kecil. Hanya saja dia meringkuk menyusut.

"Hai?" Reane maju dua langkah dengan sapaan ragu. Ia sangat bingung di mana dia berada sekarang, dan satu-satunya harapan adalah anak itu. Ia harus bertanya dan mengetahui situasi.

Tak terduga, reaksi anak itu sangat keras. Tubuh kecilnya semakin gemetar saat dirinya semakin dekat.

Tak kuat dengan kegelapan yang membuatnya pengap, Reane menemukan lampu dan mencari benda untuk membuat lampu itu menyala. Saat melihat sekeliling sampai menemukannya, dia tanpa ragu menekannya sehingga ruangan itu langsung terlihat jelas oleh cahaya kuning yang redup.

Namun yang menjadi fokus Reane adalah anak lelaki kecil berpenampilan lusuh yang membenamkan wajah di lututnya. Dia bisa melihat sentakan di bahu mungilnya saat lampu dinyalakan. Sosoknya semakin gemetar.

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now