Ekstra part

464 27 0
                                    

******

"Ini semua bohongkan, Mami, Papi? Kalian cuman bercanda kan? Ayolah, Jevan sama Jeno belum ulang tahun jadi nggak usah bercanda gini, nggak lucu tahu nggak?" Jevan tidak mudah percaya dengan apa yang dikatakan oleh maminya.

"Mami nggak bercanda Nak, ini semuanya benar. Jasmine yang donorin matanya buat Hazim dan hatinya buat Haidar, dia rahasiain ini dari kita semuanya."

Jeno hanya diam.

"Tapi nggak mungkin dokter berani melakukan operasi tanpa persetujuan pihak keluarga bukan?"

"Jasmine ternyata memasukan surat persetujuan itu diantara berkas kantor Papi, saat menandatangani itu Papi nggak sadar."

"Arrghh!!" Jevan meninju tembok rumah sakit berkali-kali sehingga kulit tangannya terkelupas.

"Jangan kayak gini Nak, Jasmine pasti sedih lihat kamu kayak gini," tegur Audrey pada Jevan yang memukul tembok.

"Tapi yang dilakukan Jasmine itu hal bodoh, Mi. Kenapa harus dia, kenapa? Masih banyak orang lain yang bisa donorin matanya buat Hazim dan hatinya buat Haidar, dia tidak perlu berkorban seperti ini."

"Mami juga nggak ngerti jalan pikiran Jasmine Nak," balas Audrey.

"Kenapa Jasmine harus ninggalin kita, Mi, Pi. Jasmine udah nggak sayang lagi ya sama kita, apa karena aku selalu gangguin dia sampai dia marah terus pergi ninggalin kita," lirih Jeno. Kepalanya sudah ia tenggelamkan diantara kedua kakinya. Ia menangis tanpa malu, hatinya terasa begitu hancur. Banyangan Jasmine yang kesal karena diganggu olehnya kini kembali berputar.

"Siapa dokter yang mengoperasi Jasmine?"

"Dokter Silvi dan rekannya," jawab Audrey.

"Aku mau ketemu Jasmine."

"Kamu masuk duluan aja, Mami bisa nyusul nantinya."

Jevan masuk ke dalam kamar mayat, ia melangkah dengan sangat pelan sebenarnya ia tidak sanggup tapi ia harus memastikannya langsung.

"Jas--mine." Saat kain putih itu ia buka, tubuh Jevan ambruk seketika ditempatnya. Ia tidak bisa berkata apapun sekarang, mulutnya terasa berat untuk ia gerakan.

"Jasmine," lirih Jeno yang berdiri diambang pintu. Matanya tak berhenti berair ketika melihat wajah pucat sang adik. Jeno langsung berlari dan memeluk erat tubuh Jasmine.

Pelukannya masih sama seperti beberapa hari lalu saat mereka tidur bertiga dikamar Jasmine, rasanya ia ingin waktu itu tidak berlalu.

Jika ia tahu itu adalah pelukan terakhirnya untuk Jasmine ia tidak akan pernah melepaskan pelukan itu. Jika ia tahu Jasmine akan melakukan hal ini, ia akan memilih untuk menahan Jasmine di dalam rumahnya agar anak itu tidak kemana-mana.

"Kalau Abang tahu kemarin adalah pelukan terakhir kamu, Abang nggak akan pernah lepasin, Dek. Kalau aja Abang tahu ini rencana kamu, Abang akan ngurung kamu dirumah aja supaya kamu nggak bisa kemana-mana. Kenapa kamu harus berkorban sebesar ini, Dek? Kenapa harus kamu?" Jeno menggenggam erat tangan Jasmine yang sudah terasa dingin seperti es batu.

"Nanti kalau aku pergi kalian jangan sedih ya," kata Jasmine.

"Kenapa harus sedih, kamu kan ikut suami kamu masa iya harus sedih. Lagian juga, kamu masih bisa main ke sini atau kita yang ke sana ketemu kamu," balas Jeno.

H A Z M I N E  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang