0.1.1 Araksa Adhinathan

1.1K 93 22
                                    

Anna, Rea dan Laura serempak menoleh ke arah Nala yang masih menatap layar laptop. Menampilkan 2 orang lelaki berkepribadian beda. Yang satu tampak sibuk memaksa temannya untuk menyapa orang-orang yang menonton dan memberi komentar, sedangkan yang satu sibuk memberontak tak suka jika dirinya menjadi sorotan seperti itu.

Anna langsung keluar dari siaran langsung itu. Mematikan laptop membuat layar itu sepenuhnya berwarna hitam, tapi Nala tak juga mengalihkan pandangannya. Matanya menyorot kosong pada layar hitam itu, Rea yang ada di sampingnya lantas menepuk bahunya pelan.

"La," panggilnya lirih.

Tidak hanya Nala, tapi Rea juga masih terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Anna dan Laura juga sama terkejutnya, mereka tak bisa berkata-kata.

"Gue ... gak mimpikan? Gue gak halukan?" tanya Nala pada ketiga temannya.

Tapi tetap ketiganya tak menjawab, pasalnya mereka juga masih menerka-nerka apakah ini sedang bermimpi atau tidak.

Plak.

"Aws."

Laura menampar pipinya sendiri, lalu melebarkan matanya tak percaya.

"Gak mimpi? Beneran?" tanyanya.

"Itu tadi, kak Arsya?" tanya Anna yang tak mendapat jawaban apapun.

"La," panggil Anna karena Nala terlihat hanya diam masih tetap menatap layar hitam itu.

"Kalo gue mimpi, jangan bangunin gue," ucap Nala dengan tatapan kosongnya.

Rea memeluknya dari samping, "Lo gak mimpi La, gue juga liat kak Arsya," bisiknya membuat Nala menoleh.

"Liat? Lo liatkan? Lo percaya sama gue sekarang? Percaya kalo kak Arsya masih ada?" tanya Nala beruntun dan Rea mengangguk.

Kini mata Nala beralih pada Anna dan Laura, "Kalo lo berdua? Percaya apa mau bilang gue mimpi atau halu?" tanyanya.

Laura menggeleng kecil, "Gue percaya. Tapi ... kita semua liat waktu kak Ar--."

"Dikubur?" tanya Nala memotong perkataan Laura, membuat gadis itu mengangguk kecil.

Nala mengangguk, ia menonggak kepalanya ke atas agar air mata itu tak turun. Ucapan Laura benar, ia, mereka melihat dengan kepala mata sendiri saat Arsya dipulangkan. Tubuh kekar yang terkujur kaku dengan balutan kain putih. Wajah tampan yang tersenyum kecil, terlihat sangat pucat dengan kapas yang menyumpal hidung mancungnya. Tangis-tangis semua orang yang terus memanggil namanya dan berharap mata hitam itu kembali terbuka. Nala melihatnya, Nala merasakannya.

Ia ingat saat itu, ia bersimpuh di samping liang lahat yang siap menampung Arsya. Dengan air mata yang terus mengalir ia meminta pada Tuhan untuk mengembalikan Arsya.

"An, coba lo tanya cowo lo," suruh Rea, ia butuh kepastian sekarang juga.

Anna mengangguk, buru-buru ia mengambil handphone dan menelepon Zevan--kekasihnya.

"Halo, yang. Kenapa?" tanya Zevan yang terdengar juga oleh Rea, Laura dan Nala.

Disaat seperti ini panggilan Zevan tak menjadi sesuatu yang dipermasalahkan. Padahal biasanya Rea pasti akan mencak-mencak dan pura-pura muntah, begitu juga dengan Laura dan Nala.

"Vocalis kamu, namanya siapa?" tanya Anna langsung.

"Loh kamu nelpon aku cuma mau nanya dia? Kamu ngefans sama dia? Suka kamu sama dia?"

Anna menghela nafasnya kasar, "Jawab aja kenapa ribet banget sih?!"

"Kok kamu marah? Harusnya aku loh yang marah sam--."

Caraphernelia (Nala Story) Where stories live. Discover now