12. Taman rumah sakit

136 26 0
                                    

"AAAAAAA!" jeritan yang melengking itu mampu membuat Justin yang tengah membersihkan keringat di kening Zelda tiba-tiba saja terhenti saat gadis itu menjerit lalu terbangun dalam keadaan yang cukup kacau.

Nafasnya memburu dengan keringat yang bercucuran di keningnya, "Zel?" Melihat Zelda yang telah sadar, Justin buru-buru berdiri lalu mendekatkan dirinya pada Zelda yang tengah terduduk dengan napas yang memburu, "Lo kenapa? Bagian mana yang sakit? Gue panggilin Dokter, ya?" Justin terus saja bertanya tanpa henti saat melihat Zelda sadar.

Dengan rasa takut yang sejak tadi menyerangnya, Zelda berusaha keras untuk menoleh ke arah Justin. Menelan saliva nya dengan susah payah, Zelda berusaha menjauhkan tubuhnya dari Justin, "J-jangan lagi. Gue mohon..." pintanya dengan mata yang berkaca-kaca. Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin makin bercucuran dari kening gadis itu.

"Zel!" Justin terus mendekatkan dirinya pada Zelda saat melihat keadaan gadis itu benar-benar kacau, "Zel, sadar!" ucapnya berusaha membuat Zelda yang terus-menerus meracau itu untuk sadar, "Ini gue, Justin," sambungnya berusaha meyakinkan Zelda.

Makin kesini tubuh Zelda semakin gemetaran ketika melihat Justin. Justin benar-benar merasa kasihan melihat keadaan Zelda saat ini.

Tanpa banyak basa-basi, Justin menarik lengan Zelda lalu memeluknya berusaha untuk menenangkan gadis itu. "Stttt, gue disini, gue gak bakal pernah ngelukain lo."

Zelda jelas bisa merasakan detak jantung Justin, berbeda dengan yang gadis itu rasakan sebelumnya saat di peluk oleh seseorang yang berwujud Justin, atau memang──Justin? Tidak-tidak! Justin tidak akan berbuat seperti itu.

─2 hari kemudian

"Gue mau jalan sendirian." tolak Zelda saat Justin ingin menemani nya untuk pergi berjalan-jalan di sekitar rumah sakit.

Justin menyilangkan tangannya dengan tatapan lelah akan tingkah Zelda, "Nanti kalau lo kenapa-napa lagi, gimana?" Zelda yang menyadari akan hal itu langsung mengatupkan bibirnya.

Dengan kepercayaan diri penuh, Zelda menarik napas lalu menatap untuk meyakinkan Justin kali ini, "Gue bawa hp kok, nanti kalau gue ngerasa aneh, pasti langsung gue telfon. Ya ya? Boleh, ya?" pintanya pada Justin, Zelda rasanya ingin mencari angin tanpa di ganggu gugat oleh siapapun. Ia ingin menjernihkan pikirannya.

Seperti biasa, Justin selalu mengalah pada gadis ini, tetapi jika sampai kejadian kemarin terjadi lagi, Justin benar-benar akan mengikuti kemanapun Zelda pergi, "Bentar doang tapi, jangan jauh-jauh juga mainnya," Mendengar ucapan Justin, mata Zelda refleks membulat kaget.

"Beneran?" tanya Zelda tersenyum girang. Justin sendiri hanya mengiyakan lalu membantu gadis itu keluar ruang inapnya menggunakan kursi roda.

Setelah keluar dari ruang inapnya, Zelda menjalankan kursi roda itu dengan kedua tangannya. Melihat ke arah kiri dan kanan, ada banyak orang berlalu lalang di rumah sakit ini.

Tujuannya sekarang adalah taman rumah sakit, Zelda ingin menghirup udara segar di sana. Namun saat sampai disana, Zelda malah mendapati seseorang yang tengah duduk juga di kursi rodanya seraya menatap ke arah langit dengan wajah pucat.

Mencoba untuk tidak peduli akan orang tersebut, Zelda terus menjalankan kursi roda itu dan berhenti di samping salah-satu pohon yang ada di taman itu.

Mata Zelda diam-diam melirik orang yang tengah berada sedikit jauh dari tempat Zelda berhenti. Mungkin gadis ini mengira bahwa orang yang sejak tadi dirinya pandangi secara diam-diam itu sebenarnya sadar bahwa Zelda terus memandang nya sejak tadi.

Bak ketahuan mencuri sesuatu, Zelda cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat orang itu balik menatapnya.

Susah payah Zelda menelan saliva nya akibat terlalu gugup. Bagaimana tidak? Orang yang sedari tadi Zelda pandangi diam-diam itu kini berada pas di samping kursi rodanya. "Cepet sembuh, biar bisa main skateboard lagi bareng gue."

Deg!

Dengan gugup Zelda menatap orang itu lalu tersenyum kikuk, "Hehe, lo kok bisa disini? Ngapain?" tanya Zelda pada sang lawan bicara. Itu Juanda. Lelaki yang pernah mengajari Zelda bermain skateboard.

"Lagi ikut pengajian, Zel" gurau Juanda pada Zelda. Salah sendiri, sudah liat Juanda dengan pakaian pasien, wajah pucat, dan kursi roda yang tengah di duduki oleh laki-laki itu, bisa-bisanya masih bertanya, "Ya gue disini karena sakit, lah. Gak liat muka gue udah kayak mayat hidup?"

Zelda membulat kan matanya mendengar penuturan dari Juanda, "Heh! Gak boleh ngomong gitu tau, nanti kejadian beneran"

"Ya emang, kan? Semua orang pada akhirnya juga bakal jadi mayat," jawab Juanda menatap Zelda yang tengah menatapnya aneh.

"Iya juga, sih. Kira-kira gimana ya bentukan gue pas jadi mayat nanti?" Apakah wajah Zelda akan pucat pasi? Pasti sangat jelek!

Melihat Zelda yang terus saja mengoceh tanpa henti, Juanda tersenyum manis tanpa melepaskan pandangannya dari Zelda, "Lo bahagia, kan, Zel?" Entah kenapa pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Juanda.

Pertanyaan Juanda berhasil mengalihkan perhatian Zelda yang sejak tadi melihat kesana-kemari sembari menceritakan segala hal pada Juanda, "Gue?" tanya Zelda melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa Juanda benar-benar menanyakan hal itu padanya.

"Cuma ada kita disini, lo maunya gue nanya siapa emang?" kini giliran Juanda yang melemparkan pertanyaan pada Zelda.

Zelda mengulum bibirnya lalu tersenyum, "Gue bahagia kok. Lagian gak ada alasan buat gue gak bahagia" ujarnya lalu bersandar pada punggung kursi roda seraya tersenyum tipis.

Juanda bisa membaca raut wajah gadis itu, walau Zelda tersenyum dan membuat wajahnya seakan-akan dirinya merasa bahagia, Juanda tahu betul bagaimana perasaan gadis itu, "Jelek banget cara bohongnya," Justin berkata sambil bersandar pada punggung kursi roda miliknya juga.

Setidak bagus itukah akting Zelda? Padahal gadis itu pernah bercita-cita untuk menjadi salah satu pemain di sinetron azab Indosiar. "Kok lo gitu, sih? Orang gue beneran bahagia kok,"

Lagi dan lagi Juanda tersenyum manis, dan jangan lupakan kedua matanya yang juga ikut tersenyum, "Yakin? Coba hadap sini," tantang Juanda yang malah diladeni oleh Zelda.

Kini dua orang itu sedang dalam posisi hadap-hadapan dengan tatapan yang bertabrakan.

Sekitar 2 menit bertatapan dengan Juanda, entah kenapa tiba-tiba saja mata Zelda berkaca-kaca. Sialan! Zelda paling benci saat dirinya meneteskan air mata di depan orang lain seperti ini. Gadis itu merasa bahwa dirinya sangat lemah.

"Zel, nangis itu bukan suatu hal yang memalukan, semua orang pasti punya titik lemah mereka masing-masing." Juanda tahu betul bahwa Zelda adalah gadis yang tampak tangguh dan kokoh, tapi tidak dengan hatinya. Ia hanya pandai menyembunyikan sebuah luka di balik canda tawa nya.

Saat itu juga, tangis Zelda pecah begitu saja. Juanda yang menyaksikan hal itu tentu saja kaget, belum lagi suara tangis Zelda benar-benar keras. jika ada orang yang melihatnya bisa-bisa mereka mengira bahwa Juanda telah melakukan sesuatu terhadap gadis yang tengah berada di sampingnya ini.

Tangan kekar Juanda beralih mengusap air mata Zelda yang terus menetes tanpa henti. Sedangkan Zelda masih betah berada dalam tangisnya.

Merasa tangis Zelda sudah sedikit mereda, Juanda mulai menjauhkan tangannya yang sedari tadi mengusap air mata Zelda, namun tangan Zelda malah kembali menarik tangan Juanda untuk ia pakai mengusap sisa air matanya yang masih menempel di pipinya.

Juanda hanya tersenyum geli melihat tingkah Zelda yang masih menggunakan tangan Juanda untuk mengusap air mata yang berada pada pipi nya.

THE MAGIC OF LIBRARY Where stories live. Discover now