20. sang penyembuh

111 18 1
                                    

Dimana kah dia yang selalu dinantikan?

Kini, kesunyian malam membuatnya semakin merasa sesak. Perlahan, sendu kian menggoroti tubuh gadis itu.

Juanda kini ingin melepas dekapannya pada Zelda, namun gadis itu malah mengeratkan pelukannya, "Jangan di lepas, Dda." mohon nya dengan pilu.

Hening saja rasanya tak cukup. Kini, benaknya benar-benar kosong, tidak disinggahi oleh apapun lagi.

Di pertontonkan oleh sang rembulan malam yang bersinar terang di atas sana. Sang gadis yang tubuhnya kini sedang bergetar hebat, dan sang lelaki yang senantiasa berusaha untuk terus menenangkan nya seraya mendekap hangat tubuh sang gadis yang berada di depan nya.

Di sela-sela rembulan yang kian suram. Ia sama sekali tak mengerti apa arti semua ini.

"Tenang, ya? Dia udah gak ada," ucapnya mencoba untuk menenangkan Zelda yang terus terisak dengan tubuh yang bergetar.

Jemari gadis itu meremas kuat pakaian pasien yang tengah di pakai oleh Juanda.

Tangan Juanda kini mengusap lembut punggung Zelda. Berharap gadis itu bisa merasakan sedikit ketenangan.

Selang beberapa menit saling mendekap, Zelda yang tadinya memeluk erat dan sama-sekali tak mau melepaskan dekapan mereka berdua, kini gadis itu melonggarkan pelukannya dan perlahan menjauhkan sedikit tubuhnya dari Juanda.

"Udah tenang?" tanya Juanda pada Zelda seraya mengusap surai panjang gadis itu.

Wajah yang masih di penuhi oleh bekas air mata itu kini menunduk dan sesekali terisak.

Juanda yang melihatnya pun akhirnya mencoba untuk sedikit menunduk dan mendekatkan wajahnya pada Zelda. Laki-laki itu berniat mengintip wajah Zelda yang tengah menunduk, "Kok gitu kepalanya?" tanya Juanda masih mencoba untuk mengintip wajah gadis itu dari bawah. Sungguh perbuatan yang konyol.

Zelda menatap Juanda yang terus saja menatapnya dari bawah, "Jangan di liat! Muka gue lagi jelek kayak kodok." Disaat orang-orang ingin memiliki wajah yang rupawan, Zelda malah menjelek-jelekkan dirinya sendiri, oh astaga!

"Mau liat orang yang mukanya kayak kodok," guraunya yang masih setia pada posisinya yang mengintip wajah Zelda dari bawah.

Dengan matanya yang masih berkaca-kaca, gadis itu kini mendongakkan kepalanya seraya mendekatkan wajahnya pada Juanda, "Nih liat! Liat sampai puas!" kesal nya karena Juanda malah berkata bahwa dirinya benar-benar mirip seperti kodok.

Mata laki-laki itu menyipit dengan suara tertawa yang lumayan keras karena melihat Zelda yang kesal padanya, "You look so pretty when you're crying" akunya seraya mengusap air mata gadis itu.

Rona merah di pipi Zelda tak bisa berbohong bahwa dirinya merasa salah tingkah saat Juanda mengatakan hal itu. Benarkah? Padahal jika Zelda bercermin setelah menangis, gadis itu bak sedang melihat seekor monyet yang tengah bergelantungan di atas pohon.

Merasa sedikit malu, Zelda membuang muka agar acara bushing nya tak berlanjut lagi.

Gadis itu kini merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya. Terasa begitu pengap dan penat, menjadi sendu pada kesunyian malam.

Kini pikirannya tertuju pada seseorang saat ini. Apakah Justin baik-baik saja disana? Ketimbang mengkhawatirkan dirinya sendiri, Zelda justru lebih khawatir pada Justin yang tiba-tiba saja lenyap tanpa aba-aba.

Juanda yang melihat gadis itu tampak gelisah akhirnya mencoba untuk kembali menenangkannya. "Dia gak bakal kenapa-napa. Harusnya lo khawatirin diri lo sendiri sekarang, Zel. Stop selalu mentingin orang lain daripada diri sendiri."

THE MAGIC OF LIBRARY Where stories live. Discover now