Bab 5

15.3K 887 6
                                    

Delia melangkah keluar kamar meninggalkan Damar yang masih tertidur lelap di kasur sekarang masih jam 06.30 pagi, namun aroma masakan mama mertuanya sudah tercium dari lantai dua. Dia berjalan menuruni tangga dan menuju dapur tempat mama mertuanya berada.

"Masak apa, Ma?" Delia melirik wajan tempat mama mertuanya menumis bumbu.

Mama mertuanya sangat pandai memasak berbagai hidangan, berbeda dengan dia yang hanya bisa memasak makanan yang sederhana saja. Walaupun ibunya bekerja, setiap pagi ibunya selalu memasak makanan untuknya atau meminta Delia membeli saja jika ibunya tidak sempat memasak. Damar pun tidak pernah menuntutnya untuk pandai memasak. Damar akan memakan apapun yang delia masak untuknya.

"Mama masak ikan asam manis, ayam rica-rica, sama nasi goreng." Padahal di rumah Damar ada asisten rumah tangga, namun kalau untuk memasak mama mertuanya lebih suka melakukannya sendiri.

"Aku bisa bantuin apa nih, Ma?"

"Hmm...Coba iris bawang merah dan bawang putih buat  masak nasi goreng."

"Oke, Ma" Delia menjawab dengan ceria.

******

Damar mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, dia baru saja selesai mandi. Dia melihat ruangan kamarnya yang masih didominasi warna hitam dan abu-abu, tidak seperti kamar di apartemennnya yang sudah terkontaminasi warna lain. Barang Delia di kamar ini hanya beberapa saja, karena dia yang baru beberapa kali menginap disini selama pernikahan mereka. Rencanannya mereka akan berkunjung tiap bulan ke rumah orang tua mereka namun hanya Delia yang sering berkunjung walaupun tidak menginap, karena Damar lebih memilih menghabiskan waktunya untuk bekerja.

Damar sebenarnya merasa bersalah pada Delia, apalagi melihat Delia yang mendiamkannya untuk pertama kalinya. Damar merasa aneh padahal baru beberapa bulan lalu dia menganggap Delia sebagai adiknya, namun sekarang dia tidak bisa lagi memandang Delia sebagai adiknya. Damar tidak tahu perasaan apa yang dia rasakan untuk Delia. Damar menyayanginya namun belum mencintainya. Damar tidak tahu apakah dia sanggup untuk mencintai orang lain, karena selama ini hanya pernah ada satu nama yang mengisi hatinya.

"Mas Damar, ayo turun. Sarapannya sudah siap." Delia membuka pintu kamar, memanggil Damar yang baru saja selesai mengeringkan rambutnya.

"Mas pakai baju dulu, ya." Damar masih menggunakan handuk di pinggangnya.

Melihat itu wajah Delia memerah. Padahal dia sudah sering melihatnya namun terkadang dia masih merasa malu.

Damar yang melihat wajah Delia yang memerah itu terkekeh kecil, lucu sekali istrinya ini. Padahal dia sudah sering melihat tubuh telanjang Damar, namun masih saja merasa malu. Hal itu mamancing keinginan Damar untuk menjahili istrinya. Damar melangkah kearah lemari pakaian dan tanpa ragu membuka handuknya secara tiba-tiba, sehingga bagian belakang tubuhnya terlihat oleh Delia.

"Ah!!"suara pekikan kecil keluar dari mulut Delia.

"Mas Damar kenapa nggak ganti baju di kamar mandi sih?" Delia mengomeli Damar yang memasang wajah tidak berdosa di depannya.

"Loh memang kenapa, kan kamu udah sering lihat Mas telanjang." Damar menjawab santai dan melanjutkan memakai pakaiannya di depan Delia.

"Tapi kan itu beda, Mas."

"Apa bedanya coba?" Damar bertanya dengan nada jail.

Delia memutuskan pergi karena malas berbicara lebih lanjut dengan Damar. Dia menuruni tangga diikuti dengan yang menyusulnya di belakang. Mereka menuju meja makan yang sudah ditempati papa dan mama mertuanya. Damar menarik kursi di sebelah Delia dan mengusap rambut Delia sebelum duduk, hal itu membuat Delia tersenyum kecil.

Damar & DeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang