Bab 22

11.8K 1.1K 35
                                    

Thanks Buat Vote dan Komentnya Ya!!!

Happy Reading!!!

Setelah perpisahan kedua orangtuanya, Delia kecil tidak pernah menuntut ibunya meski seringkali merasa kesepian saat ibunya pergi bekerja, ibunya mungkin berpikir bahwa itu karena Delia bukan anak yang rewel, namun yang sebenarnya dirasakannya adalah rasa bersalah. Rasa bersalah ketika mendengar tangis ibunya yang berusaha menampilkan senyum padanya. Terkadang Delia merasa takut bahwa ibunya akan membencinya. Pikiran konyol seorang anak yang telah kehilangan ayah yang sangat dicintainya.

Banyak andai yang sering muncul ketika Delia tumbuh. Andai Delia tidak memaksa untuk mengambil les melukis, ayahnya tidak akan bertemu lagi dengan wanita itu. Andai Delia tidak keras kepala ketika ayahnya menolak memasukannya ke tempat les dimana wanita itu mengajar. Andai sejak awal dia tidak melukis, mungkinkah semua ini tidak akan terjadi? Delia tidak tahu, karena semua itu telah terjadi.

Namun ada hal yang benar-benar mengusiknya, dalam ingatan Delia kecil mereka adalah keluarga bahagia. Ibunya yang meski bekerja tidak pernah melupakan mereka, ayahnya yang sering melukis momen-momen bahagia mereka, tidak ada masalah. Rumah kecil itu rusak walau telah dibangun dengan kokoh. Badai berupa masa lalu ayahnya itu ternyata mampu merusak rumah itu.

"Apa dia seberharga itu? Aku dan Ibu tidak cukup membuat Ayah bahagia?" Tanya Delia yang membuat Ayahnya menggelengkan kepalanya.

"Kamu adalah putri yang sangat ayah cintai. Kamu sangat berharga untuk ayah." Ayahnya berhenti sejenak. "Semua itu terjadi tanpa Ayah rencanakan. Terkadang ada hal yang tidak bisa lagi dipertahankan sebanyak apapun kita berusaha. Bertahan saat itu hanya akan membuat kita semua tidak bahagia."

Delia tertawa, jawaban itu benar-benar klise. Tidak bisakah ayahnya mengaku saja bahwa dia lebih mencintai wanita itu dibanding keluarga kecilnya. Delia mengangguk, "Pilihan yang tepat, karena setidaknya ada yang berbahagia dalam pilihan itu." Delia mengeluarkan uang dari dompetnya. "Ayah dan wanita itu berbahagia. Aku dan ibu yang tidak bahagia. Jumlah orang yang tidak bahagia memang berkurang. Memang ada yang harus dikorbankan untuk bahagia, kan? Pilihannya hanya terletak pada siapa yang harus dikorbankan. Dan ayah memilih mengorbankan kami." Delia bangun dari duduknya.

"Kamu tahu maksud ayah nggak seperti itu." Tian meraih tangan putrinya. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu setelah bertahun-tahun. Dia tidak bisa mengakhirinya seperti ini.

"Aku nggak tahu maksud Ayah, dan aku tidak ingin tahu. Bukannya sudah terlambat untuk mengerti?" Delia tersenyum, akan beranjak pergi. Namun kembali berbicara. "Ah, hampir saja aku lupa. Tolong ganti judul lukisan itu. My Amie, terdengar sangat munafik. Karena aku bukan yang paling ayah cintai, judul itu menjadi kehilangan maknanya." Ucapnya sebelum melangkah pergi, berbalik meninggalkan ayahnya yang tampak terpaku.

Ketika Delia berbalik sorot matanya yang tampak tidak peduli itu langsung hilang. Amie. Artinya adalah yang tercinta, nama yang diberikan Ayahnya yang amat melukainya. Kedua tangannya mengepal erat. Jangan menangis. Mereka tidak pantas. Bisiknya lirih mencegah air mata yang sudah mengaburkan pandanganya. Perih dihatinya menyadarkannya, dia masihlah Delia kecil yang berdoa dalam tidurnya agar ayahnya kembali.

***
Damar melangkah ke luar dari kantor polisi itu bersama beberapa orang, matanya melirik sekilas pada Adelia lalu menatap laki-laki yang berada di samping Adelia.

"Kamu baik-baik saja? Ada yang luka?" Andri memeriksa kondisi Adelia. Disampingnya Adelia tampak enggan menatap wajahnya. Andri hanya menghela nafas pasrah melihat keacuhan istrinya. Andri kemudian menatap Damar yang hanya memasang tampang datar. "Saya baru tahu kalau pak Damar adalah orang yang sangat profesional. Menangani kasus perceraian mantan kekasih bukan hal mudah. Apalagi jika hubungan mereka berakhir dengan tidak baik." Andri berkata dengan senyum yang tidak sampai ke mata.

Damar & Deliaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن