Chapter 4. True beauty

234 13 0
                                    

Sore hari setelah aku pulang bekerja aku berencana menemui mama di kamarnya, saat pagi tadi aku terburu-buru sampai aku tak sempat melihat wajah mama.

Aku merindukan mama, sangat rindu. Entah apa yang selalu membuatku rindu pada wanita galak dan kasar itu. Mama adalah mamaku, dia memang tak menerimaku tapi aku menerimanya.

Buket bunga lily putih yang harum aku peluk dan aku cium aromanya. Harum sekali dalam hati aku berdoa semoga mama mampu tersenyum dengan hal kecil ini. Dengan bahagia aku melangkah menaiki tangga dan akhirnya sampai di pintu kamar mama. Aku menarik nafas panjang sebelum aku membuka pintu dan tersenyum lebar.

"Mama."

Tak ada sahutan dan kamar mama berantakan, aku melihat vas bunga yang pecah dan jantungku seketika berdetak tak karuan.

"Mama?"

Tak ada sahutan.

Aku menyingkirkan barang yang menghalangi jalan seperti bantal, selimut, atau bahkan kursi yang terbalik. Saat bantal aku angkat aku melihat noda darah, sial jantungku semakin berdebar tak karuan.

"Mama!" Aku mulai berteriak dan melempar bungaku. Kakiku masuk ke dalam toilet dan seketika jantungku seolah berhenti berdetak.

"Mama!"

Aku berlari menerjang tubuh mama yang tergeletak di lantai dengan darah di mana-mana. "Mama! Mama!"

Aku menarik handuk dan melilitnya pada luka sayat di pergelangan tangan mama. Aku kembali berteriak memanggil para pelayan dan penjaga.

"Mama, kumohon bangunlah." Air mataku jatuh dengan deras dan nafasku.

Sial, aku mulai kesulitan bernafas. Asma kukambuh.

Aku yang sedang memangku kepala mama berusaha keras agar aku bisa bernafas namun nihil, aku benar-benar tak bisa nafas. Satu tanganku menyentuh dadaku yang nyeri sampai aku merasa tubuhku jatuh ke lantai dan semuanya gelap.

Brielle seketika terbangun dari tidurnya dalam keadaan berkeringat, nafasnya memburu, dan jantungnya berdebar. Perlahan Brielle menarik tasnya mengambil reliever inhaler yang membantu nafasnya. Selang sepuluh menit kemudian saat nafasnya sudah membaik Brielle melihat jam pada ponselnya, jam enam pagi.

Jika bukan karena mimpi itu Brielle tak akan bangun pagi-pagi seperti ini apa lagi dalam keadaan tubuh yang pegal-pegal. Sejak hari itu tidur yang dimiliki Brielle kacau, mimpi buruk yang super buruk selalu membangunkan Brielle.

Brielle menyibak selimut lalu turun dari kasur dan mengambil satu butir obatnya. Dalam balutan handuk kimono yang menemani tidurnya Brielle melangkah keluar kamar, sepi sekali suasananya yang ada di sini hanya suara perut Brielle yang mulai keroncongan.

"Oh aku lapar."

Kakinya Brielle bawa melangkah memasuki dapur, memasukkan obat ke dalam mulutnya lalu meneguk minum yang tersedia di meja bar. Kakinya kembali melangkah mendekati kitchen island dan mengambil asal pisau yang tersedia.

"Apa ini tajam?" Gumamnya.

Perlahan pisau Brielle taruh di tangannya dan merasakan bagaimana dinginnya permukaan pisau, tak hanya di situ saja Brielle kini mulai memutar-mutarkan pisau di tangannya layaknya seorang koki.

Brielle tersenyum dan kembali berjalan dengan bibirnya yang mulai bersenandung kecil. Wanita itu menyusuri rumah dengan pisau di tangan yang membuatnya seolah menjadi perampok atau lebih sadisnya pembunuh berantai. Masuk ke dalam ruangan televisi Brielle mendekati rak yang memperlihatkan foto Valen, Grayson, dan foto seorang wanita bernama Ellis istri dari Valen.

"Kau bahagia sekali." Dengan ujung pisaunya Brielle menyentuh foto Valen.

Brielle memutar tubuhnya hendak kembali melangkah menyusuri rumah ini namun saat dia memutar tubuh sosok Grayson keluar dari kamar membuat Brielle refleks menyembunyikan pisau ke belakang tubuhnya.

"Kau sudah bangun?" Tanya Grayson.

Pria itu bertelanjang dada memperlihatkan otot-ototnya yang menggiurkan, Brielle dapat melihat beberapa tato menghiasi tubuh Grayson. Di perut pria itu sepertinya ada tato naga yang menjalar ke bawah.

Berengsek untuk kesekian kalinya pria itu tampak tampan.

Brielle tersenyum canggung sambil mempertahankan pisau di belakang tubuhnya. "Good morning." Sapa Brielle.

Saat Grayson melangkah mendekati Brielle wanita tampak bergetar kecil. "Apa yang nona Brielle lakukan di pagi ini?"

Sial aku berdebar.

"Nona--"

"Aku lapar."

Grayson mengangguk-angguk kecil langkah kakinya tidak jadi mengarah pada Brielle melainkan menuju Dapur. "Kita tunggu Peter bangun, dia yang akan memasak."

Brielle dapat bernafas lega dikala Grayson menghilang ke dapur. "Seharusnya aku menikamnya." Gumam Brielle sambil mengeluarkan pisaunya dan memeragakan seolah menikam manusia.

"Dia sudah bertelanjang dada, aku tinggal tusuk jantungnya."

Sial, sial, sial, sial Brielle menyesal tidak menikam manusia itu.

...

Jam menunjuk angka sembilan pagi di saat Grayson, Peter, dan Raphael sudah menunggu di luar sedangkan Brielle masih saja sibuk di kamarnya untuk mengeluhkan pakaian yang dipinjamkan Grayson.

"Aku seperti babi di dalam karung." Keluh Brielle saat bercermin melihat tubuhnya terbalut kaos putih polos dan celana training milik Grayson.

"Pria berengsek, tubuhku tidak terlihat sexy jika memakai baju sialan ini." Brielle melepaskannya lalu melemparnya. Satu-satunya yang bisa Brielle pakai adalah bajunya yang kemarin.

Rok span hitam dan kemeja merah bergambar bunga, baju ini masih harum tapi Brielle tetap memakai parfum yang banyak. Melihat pantulan tubuhnya yang sexy Brielle tersenyum puas apa lagi sekarang tiga kancing kemeja atasnya Brielle buka.

"Sempurna."

Menyambar mantel dan tasnya Brielle berjalan keluar, sampai di luar rumah Brielle melihat Grayson yang duduk di kursi depan pintu sambil merokok, Raphael yang membersihkan mobil, dan sosok Peter yang tengah meregangkan tubuhnya ke kanan-kiri.

Melihat Grayson yang merokok Brielle mengumpat dalam hati. "Kita akan berangkat sekarang?"

Suara Brielle membuat Grayson menekan rokoknya pada asbak lalu berdiri, menatap heran pada wanita itu. "Kau tidak memakai baju yang aku pinjamkan."

Brielle tidak merespons dia hanya melirik Grayson lalu berjalan menuju mobilnya.

"Kita berangkat bersama lagi nona Brielle. Ayo." Ucap Grayson kembali.

Brielle memutar langkahnya menuju mobil Grayson, masuk dan tidak berbicara apa-apa sampai mereka tiba di lahan hijau yang luas. Saat Brielle keluar wanita itu segera menarik panjang nafas menghirup segarnya udara.

"Luasnya lima hektar tanah ini. Aku semula berniat menanamnya buah anggur." Ucap Grayson.

Brielle mengibaskan mantelnya ke belakang dan berkacak pinggang menatap Grayson, sebagai seorang pria mata Grayson otomatis tertuju pada belahan dada Brielle yang menantang.

"Lima hektar ini begitu luas, kau bisa menanam semua jenis buah. Kau mau memulai sektor pertanian bukan."

Grayson mengalihkan pandangannya ke depan. "Aku sudah membangun supermarket untuk menjual buah-buah ini. Kau yang akan mengurus perkebunannya."

Mata Brielle juga menatap ke depan. "Kita bisa tanami anggur, apel, pir, persik. Raphael akan mengurus apa saja yang akan ditanam di sini, aku juga akan membuka lowongan pekerjaan baru untuk lahan ini dan kau." Brielle melirik Grayson. "Cepat selesaikan sengketa tanahmu itu."

Sebuah senyum manis tercetak di wajah tampan Grayson, rasanya aliran darah Brielle berdesir. "Tentu nona Brielle."

---

#To be Continued

UnbelievableWhere stories live. Discover now