Chapter 22. Curse words

87 6 1
                                    

"Grayson...."

"Aah.."

Mata Brielle terpejam erat merasakan kecupan basah yang panas di sekitar lehernya. Benar-benar panas dan sesak.

"Kau terus mengganggu pikiranku Brielle."

Semakin erat Brielle memejamkan matanya mendengar suara berat Grayson yang bagaikan alunan lagu lembut di telinga, pria itu juga menggigit cuping telinganya dan kembali berbisik sensual.
"Senyum dan wajahmu menggangguku, dan sekarang tubuhmu ikut menggangguku juga."

"Grayson..."

Grayson membawa kecupannya turun digaris perut Brielle lalu kembali naik dan mencium rahang Brielle. Setiap kecupannya membuat Brielle mendesah pelan serta setiap sentuhan tangannya bagaikan sengatan listrik yang membuat aliran darahnya berdesir.

Ouh tuhan tangan hangat Gray tidak berpaling sama sekali dari pangkal pahanya. Mengelusnya, merabanya, atau bahkan mencengkeramnya lembut.

"Kau mau bercinta denganku?"

Brielle menggigit bibirnya.

Sedetik kemudian dering dari ponselnya membangunkan Brielle yang langsung berteriak keras.

"ARGHHH!"

Tok! Tok! Tok!

"Nona Brielle!"

"Nona Brielle kau sudah bangun!"

Brielle menghela gusar nafasnya. Sialan itu hanya mimpi buruk yang menemani tidurnya semalaman.

"Nona Brielle cepatlah bangun! Aku menunggumu di bawah! Kau tidak lupa untuk hari ini bukan!"

Brielle mencengkeram erat selimut ditubuhnya, menyusun potongan-potongan mimpi yang berantakan untuk kembali menyatu. Saat ingat pria dalam mimpinya adalah si berengsek Grayson Brielle langsung menyibak selimut lalu melompat dari kasur.

“Itu hanya mimpi, tidak nyata. Gray dalam mimpiku adalah setan.”

Jika aku memimpikan Gray tanpa aku inginkan itu artinya alam bawah sadarku yang menginginkan Gray.

“Arghh! Tidak! Itu tidak benar!” Brielle menarik panjang nafas dan menghembuskannya perlahan. “Itu tidak benar.”

Kembali terbayang sepintas soal mimpinya membuat Brielle bergidik ngeri. Perlahan langkahnya dibawa masuk ke dalam kamar mandi, membuka semua pakaiannya dan berdiri di bawah pancuran air hangat sambil menggosok tubuhnya. Bibirnya sesekali bergumam bahwa itu hanya mimpi namun isi kepalanya tidak, Brielle malah merasakan sentuhan tangan Grayson tempo hari.

Bayang-bayang kejadian nyata yang bersatu dengan mimpi membuat Brielle seketika merinding.

"Lupakan, lupakan, lupakan, lupakan, lupakan." Brielle terus bergumam dan menggeleng keras.

Tak kuat berlama-lama di kamar mandi dalam lima menit Brielle sudah keluar. Mencari pakaian yang pas lalu menemui Raphael.

"Kau ingin pulang bukan?" tanya Raphael.

Brielle mengerutkan keningnya tebal. "Kenapa? Ada apa?"

"Sebelum pulang kau harus meninjau perkebunanmu, supermarketmu, dan semua pekerjaanmu di sini. Aku sudah mengurus kepulanganmu besok lusa."

"Meninjau semua pekerjaanku di sini bersamamu?" Brielle menaikkan kedua alisnya.

"Tidak bersamaku saja, bersama tuan Grayson juga."

Sialan. Mau taruh di mana muka Brielle saat bertemu Grayson.

"Wajahmu memerah, ada apa?" Raphael memekik dan sontak Brielle menyentuh wajahnya. "Nona kau baik-baik saja? Kau sakit. Atau karena aku membicarakan tuan Grayson kau malu.... sebenarnya ada hubungan apa kau dengan tuan Grayson, mengapa saat itu kalian sangat...."

"Shuttt tutup mulutmu ayo berangkat."

Raphael menghela nafasnya mengikuti langkah Brielle keluar rumah. "Aku masih belum bisa membawa mobil, lenganku masih dibalut armsling sialan ini."

"Kapan benda itu dilepas?"

"Masih lama, tiga atau dua minggu."

"Aku hanya bisa berdoa semoga lekas sembuh."

"Nona..." Raphael mencekal tangan Brielle yang akan memasuki mobil, Brielle menaikkan kedua alisnya. "Jujurlah padaku, ada hubungan apa kau dengan tuan Grayson atau hubunganmu dengan Sean? Aku penasaran setengah mati."

Brielle mendengus kasar, memang jika manusia memiliki pertanyaan besar yang belum terjawab mulutnya tak akan berhenti bertanya sampai mendapat jawaban.

...

Raphael bilang pekerjaan pertama Brielle adalah meninjau perkebunannya maka sekarang Brielle bersama Raphael sedang memasuki pesawat yang membawanya terbang ke Knoxville, tempat jauh di sana yang membuat Brielle untuk pertama kalinya melihat sosok Grayson bertelanjang dada dengan tato naganya yang besar.

Sial, kejadian itu sudah lama tapi mengapa masih membekas di kepalanya. Bahkan otot-otot lengan dan pahatan sempurna perutnya masih terbayang di kepala.

"Kau baik-baik saja nona?"

Brielle menahan nafasnya sesaat. "Aku baik-baik saja. Ada apa lagi?"

"Wajahmu merah, kau kepanas."

"Aku baik-baik saja."

Bersamaan dengan itu seorang pramugari menghampiri kursi Brielle, menawarkan sesuatu yang mungkin Brielle inginkan.

"Aku ingin sampanye."

"Kau ingin mabuk perjalanan," gumam Raphael, tangannya menyenggol pelan lengan Brielle. "Pramugari tadi memotong pembicaraan kita--."

"Apa pembicaraan kita." Geram Brielle bahkan sekarang pintu pesawat sudah ditutup yang mengartikan mereka akan mengudara namun Raphael masih saja tidak bosan menuntun jawaban. "Aku tidak menyukai Grayson, dia bukan tipe seorang pria yang kuinginkan."

Raphael tidak percaya, pria yang duduk di samping Brielle menyipitkan matanya dan memajukan wajahnya. Lekat-lekat dia menatap Brielle. "Jika Gray bukan tipemu apa mungkin saat kau bersama tuan Grayson di dapur tempo hari kau sedang haus akan sex—"

Sontak saja Brielle memukul wajah Raphael, bisa-bisanya pria itu berbicara santai membahas sex membuat debaran jantung Brielle menggila. Apa lagi beberapa penumpang yang menguping melirik Brielle sekilas, ditambah pramugari yang datang membawakan segelas sampanye terlihat tersenyum canggung. 

"Nona! Kau menamparku?" ucap Raphael. "Aku hanya beropini, berpendapat. Kau juga seorang manusia, manusia dewasa yang butuh segalanya termasuk pasokan sex apa salahnya aku."

Brielle tertawa sinis, "Walau aku butuh pasokan sex bukan berarti aku bercinta dengan Grayson. Saat itu aku hanya sedang bertindak gila berhenti membahasnya."

"Ayolah aku menyaksikan adegan kalian yang tertinggal direkaman CCTV, kau menggoda tuan Grayson itu sudah jelas, kau butuh sentuhannya, kau butuh kehangatannya, itu terlihat jelas di matamu. Ego di dalam dirimu terlalu tinggi begitu juga dendam di dalam dirimu terlalu besar."

"Aku bersyukur ego dan dendamku terlalu tinggi itu membuatku tidak jatuh dalam pesona Grayson." Bola mata Brielle menyorot penuh keangkuhan dengan senyuman yang mekar.

Raphael mengibaskan tangannya. "Kutembak kepalamu jika kau jatuh cinta dengan Grayson."

-----

# To be Continued...

UnbelievableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang